06 || Daftar Nama

273 44 1
                                    

Setelah kejadian pagi tadi, Aiza mendadak ragu untuk menghadap Pak Hilmi. Lama ia berdiri hanya untuk menimbang-nimbang apakah Pak Hilmi betul tidak tahu maksud sebenarnya mereka menemui Maya, atau Beliau hanya berpura-pura. Selepas mengumpulkan keberanian, Aiza mengetuk pintu coklat di hadapannya perlahan, berharap tidak mengganggu.

"Masuklah, Aiza."

Tubuh gadis itu sedikit terperanjat. Berpikir bagaimana Pak Hilmi bisa tahu itu dia. Tangannya mulai menggeser daun pintu dan menampakkan diri. Lalu berjalan masuk ke dalam.

"Duduklah!" suruh pria tersebut yang tampak sibuk dengan buku-buku di raknya. "Kenapa berdiri di luar?"

Aiza duduk dengan canggung. "Bagaimana Bapak tahu itu Saya?"

Pak Hilmi tersenyum tipis. "Bapak lihat kamu berjalan dari arah lapangan. Di ujung ruangan ini jalan buntu. Jadi, Bapak yakin kamu pasti ke sini."

Aiza terkekeh jengah. Seketika perasaan sungkannya mulai hilang. Pak Hilmi memang tahu caranya membuat seseorang merasa nyaman kala berbicara dengannya.

Dia memutar pandang ke sekeliling ruangan. Sudah lama tidak datang ke sana setelah libur panjang. Datang ke ruangan konselor adalah ide brilian untuk mendapat ketenangan. Dibanding ruang kepala sekolah yang bernuansa modern dan tertata rapi, ruang pak Hilmi lebih mirip kamar di negeri dongeng. Hampir semua ukiran, hiasan dan buku-bukunya Bergradasi khas abad pertengahan.

"Tidak ada yang berubah," ungkap Pak Hilmi. "Kecuali kalendernya."

"Kenapa?" tanya Aiza tanpa berpikir panjang.

"'Kan sudah ganti tahun."

Tawa Aiza pecah diikuti Pak Hilmi. Sekaligus malu oleh kebodohannya sendiri.

"Apa ada kabar baru?" Pak Hilmi mulai duduk di kursi.

Aiza mengangkat bahu. "Seperti biasa, hanya ada beberapa email yang masuk dan mereka orang yang sama." Aiza memenggal perkataannya. "Saya merasa gagal untuk meyakinkan para siswa. Tidak seperti consema sebelumnya yang lebih pandai mendapat kepercayaan dari teman-teman."

"Kau tidak harus menunggu pesan masuk untuk menjadi Consema," kata Pak Hilmi. "Ada banyak cara lain untuk menyatukan orang-orang.

"Contohnya?"

"Seperti yang kau lakukan sekarang."

Mendengar itu, mata Aiza melebar lantas mengalih ke arah lain. Dia nyaris kehabisan kata-kata untuk menanggapi kalimat Pak Hilmi.

"Aku hampir lupa tujuanku datang ke sini." Aiza berusaha menghindar dari tuduhan guru BK-nya. "Sebenarnya aku mau meminjam buku itu." Tunjuknya mengarah rak, tepat pada buku hitam yang sedikit mencuat dari barisannya.

Tanpa berat hati Pak Hilmi meraih buku itu, lalu memberikannya pada Aiza. "Kalau buku ini, ambil kapan saja jika kau mau. Ini hanya untuk konselor. Itu berarti juga punyamu. Tapi ingat! Jaga nama-nama di buku ini."

Bukan itu saja, Pak Hilmi juga menambahkan satu buku tebal yang tampak asing. "Semakin banyak kita membaca, semakin banyak yang kita tahu, dan semakin mudah kita menyikapi sesuatu."

Aiza berbesar hati menerimanya keduanya. Terlebih buku putih itu. Seputih gading dengan corak sederhana yang cantik. Sangat bertolak belakang dengan buku daftar hitam.

"Salah satu alasan bapak membeli buku ini, karena cover-nya sangat bagus."

Dahi Aiza menekuk. "Bukannya kita tidak boleh menilai sesuatu hanya dari tampilan luarnya?"

"Benar. Melihat sampulnya saja sudah membuat Bapak sangat berharap dengan tulisannya. Dan beruntungnya, isi bukunya juga jauh lebih menarik. Itulah alasan utama Bapak menyimpannya." Pak Hilmi menghela napas. "Rasanya ingin menulis lagi dalam waktu dekat."

CONSEMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang