23 || Tebakan

151 25 3
                                    

Penjelasan Shandi tidak cukup membantu. Aiza merasa ada sesuatu yang ditutupi Pak Hilmi dalam kasus Teresa.

Ketika sampai di depan ruangan konseling, Aiza merasa agak heran sebab tak biasanya Pak Hilmi lupa mengunci pintunya. Dia pun langsung masuk setelah beberapa kali mengetuk. Di dalam, dia justru disambut oleh Fiona yang sedang sibuk merapikan buku-buku seorang diri.

Gadis berambut ikal itu tersenyum. “Pak Hilmi pergi ke apotek sebentar. Aku diminta menyusun buku-buku ini sementara dia keluar.”

Aiza mengangguk paham. Kemudian mulai ikut membantu karena Fiona terlihat agak kerepotan.

“Tinggal sedikit lagi. Setelah itu aku pergi, jadi kau bisa bicara empat mata dengan pak Hilmi. ” Fiona merasa tak enak hati.

“Tidak, Fio! Tidak usah,” sambut Aiza yang mendadak bersikap serupa. “Aku cuma ingin menanyakan sesuatu. Bukan hal yang terlalu penting. Jadi, santai saja.”

Lagi-lagi Aiza latah menjadi gadis lemah lembut ketika berhadapan dengan Fiona.  Julukan ibu peri di sekolah yang disematkan pada Fiona bukanlah dongeng semata. Dia merasa disihir saat itu juga.

“Pasti lelah jadi consema,” kata Fiona yang kemudian berjongkok untuk menata buku-buku di bagian rak bawah. “Apalagi consema adalah program mandiri, jadi kau harus banyak membagi waktu.”

Aktivitas Aiza terjeda sejenak, mencoba memilah kalimat yang tepat. Sebelum itu ia yakin, jika perkataan Fiona merujuk pada dirinya yang tiba-tiba batal mengikuti lomba debat.

“Tidak separah itu, kok. Lagi pula Pak Hilmi selalu membantu.”

“Baguslah.”

Umm, Fio ....”

Fiona mendongak. “Apa?”

Aiza mendadak gelagapan. Keraguan muncul seketika saat ia menatap mata Fiona. Fiona pun berdiri. Khawatir dengan sikap Aiza yang sedikit aneh.

“Ini mungkin menyalahi kode etik sebagai pemberi pertanyaan.” Aiza berujar hati-hati. “Tapi kalau boleh tahu ... jawaban apa yang kau pilih waktu rapat kita kemarin?”

Mata Fiona melirik ke arah samping sebentar. “Kemarin aku memilih C. Memangnya ada apa, Za?”

Aiza refleks melambaikan kedua tangannya berulang kali. “Bukan apa-apa! Aku cuma ingin tahu karena hanya satu orang yang memilih jawaban ‘A'.

Detik itu juga Aiza meringis dengan ucapannya tersebut. Lagi dan lagi dia memberi jawaban yang sama ketika bertanya pada Hasan. Harus diakui jika kemampuan aktingnya di bawah rata-rata.

“Kalau kau begitu penasaran, aku bisa membantumu untuk menanyakan pada mereka. Sepertinya mereka juga tidak keber–“

“Jangan, Fio!” Aiza memotong kalimat Fiona seraya menyilangkan tangan. “Aku seharusnya memang tidak boleh tahu jawaban kalian. Jadi lupakan saja.”

Tentu Fiona tidak tahu bahwa ada catatan ganjil di bawah jawaban ‘A' tersebut. Aiza berjanji Fiona adalah yang terakhir dan tidak akan gegabah lagi dengan menanyakan hal serupa kepada Top 10 lainnya.

“Fio, tolong jangan tanyakan hal ini kepada teman yang lain, oke? ” Aiza memohon sebab tak ingin terpuruk dalam masalah yang lebih rumit. Dia hanya beruntung karena orang yang dia tanyai bukanlah pelaku tinta biru.

Fiona pun manggut-manggut, mengerti atas kecemasan Aiza.

Bersamaan dengan buku-buku yang sudah tersusun rapi, pak Hilmi akhirnya kembali.

Fiona segera undur diri setelah Pak Hilmi  berterima kasih padanya. Aiza sudah menebak jika Fiona tetap akan pamit meski Aiza tak keberatan dia di sana.

CONSEMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang