19 || Diawasi

194 30 2
                                    

Meski tidak ada peresmian secara sah, tapi meja bundar dengan lima kursi di bagian sudut perpustakaan kini seolah menjadi hak milik mereka berlima.

Mata Fath kembali segar kala buk Martha beranjak pergi mengosongkan mejanya. Bersamaan dengan itu, seseorang yang mereka tunggu akhirnya muncul. Jia cengar-cengir dari kejauhan. Semua orang tahu bahwa gadis itu sudah berupaya keras untuk tepat waktu jika teliti dari poni tipisnya yang telah terbagi dua dan bercampur peluh di dahi. Tanpa disuruh, Jia lantas menampakkan buku abu-abu yang ia tenteng ke atas meja.

"Kau membawa buku itu ke mana-mana?" tanya Sammy.

"Sesuai judulnya, buku itu masih abu-abu," sela Aiza. "Jika ada waktu aku ingin kita membahasanya, tapi sekarang kita harus cari tahu siapa penulis dengan tinta biru itu."

"Siapa pun itu, semoga bukan Qilla," harap Fath.

Jia geleng-geleng. Masih berusaha menormalkan napasnya. "Sulit untuk bisa tahu siapa yang menulis pesan singkat itu. Mereka semua terlihat normal."

"Seandainya kuperhatikan mereka saat menulis jawaban," sesal Aiza.

Sammy menimpali, "Dan tidak mungkin kita menanyakan langsung pada mereka satu persatu."

"Jadi tidak ada cara lain untuk tahu siapa orangnya?" Fath bertanya sambil menggeliat frustrasi di kursinya.

"Jika menebak begitu saja, tentu tidak bisa." Zahi kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku rompinya. "Ada yang bisa menebak warna pulpen ini?"

Mereka menerka hal yang sama. Pena gel berwarna hitam, sebab jelas pelindung mata pena itu berwarna hitam pekat.

Zahi belum merespons. Dia langsung memberi bukti. Membuat lingkaran sedang di telapak kirinya dengan pulpen tersebut. Merah. "Di dunia modern ini, kita tidak bisa lagi menilai sesuatu hanya dari tampilan luarnya."

"Dibanding menebak siapa penulisnya, aku lebih penasaran dengan maksud dari kata-katanya." Aiza ikut menunjukkan sesuatu ke permukaan meja-secarik kertas yang bertuliskan peringatan aneh itu. "Menurut kalian, dia berpihak pada kita, atau justru sedang mengejek kita?"

"Apa pun itu, dia tahu maksud kita."

Aiza kemudian merenungi kertas mungil di tangannya. Lagi-lagi pandangan Zahi persis dengan jalan pikirannya. Sekarang otaknya hanya menyuarakan dua kemungkinan. Orang tersebut tahu apa yang mereka cari, atau orang itulah yang mereka cari.

Menunggu yang lain berpikir, tangan Fath tertarik untuk meraih buku abu-abu yang masih menganggur di hadapan Jia. Tampangnya mulai serius membalikkan tiap halaman. Sesekali mulutnya komat-kamit membaca sekilas isi buku tersebut membuat orang-orang di meja itu ikut menanti pendapatnya. Ketika akan menutup buku itu kembali, mata Fath geriap lalu dengan gesit beberapa jarinya menahan pada salah satu lembar yang berada di tengah buku. Terpampang potret kawasan suatu pulau yang terbelah. "Ini ...."

Keempat orang itu refleks berdiri ketika Fath memutar buku itu berlawanan arah dengannya.

"Jika aku tidak keliru ... ini adalah peta Pulau Diomede. Benar, kan?" lanjut Fath.

"Apa yang salah dengan pulau ini?" Jia memberi pertanyaan dengan mata masih terkunci pada gambar peta di buku.

"Yesterday and Tomorrow Islands," ujar Aiza. "Masing-masing pulau berada di negara yang berbeda. Oleh sebab itu, meski jaraknya dekat, tapi keduanya memiliki selisih waktu yang jauh."

Setelah mendengar keterangan itu, Zahi tergerak menarik buku abu-abu lebih dekat padanya. Dia mengulang untuk menelisik dari lembar pertama buku itu hingga ke halaman terakhir. Setelah itu mengacungkannya ke udara. Menghadapkan bagian logo penerbit buku itu sejajar dengan cahaya yang menyorot di puncak kepalanya. Simbol bergambar sayap perak itu langsung mengilap seperti permata.

CONSEMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang