Hari ini, laboratorium fisika milik kampus biru mendadak pecah menjadi dua bagian. Satu untuk praktik dan satunya lagi untuk teori.
Sementara sepasang ayah dan anak laki-lakinya asyik bercengkerama sambil mengoperasikan berbagai instrumen lab, Aiza–putrinya–justru menepi sendirian di pinggir ruangan dan berkutat dengan berbagai doktrin hingga hipotesis.
Sekesal apa pun batinnya, Aiza akan konsisten mengerjakan soal-soal fisika bingkisan ayahnya yang diberikan setiap pekan. Namun, semakin lama, dia semakin benci rutinitas itu. Semuanya memang masih sama, tapi kali ini ada Aidan. Alhasil, Jurang yang selama ini sudah terbentuk antara dia dan ayahnya, akan segera menjadi ngarai.
“Apa yang kau lakukan di tengah-tengah kerumunan itu?”
Tubuh Aiza tercekat. Karena hampir dua jam membisu di sana, ia sempat berpikir jika butir soal di depannyalah yang mengajak bicara.
“Apa aku melakukan kesalahan?” tanya gadis itu hati-hati, meski tahu bahwa ayahnya sudah melihat berita-berita itu–yang sedang menempati tempat pertama sebagai topik terhangat.
“Tak usah sok jadi pahlawan. Kau saja belum bisa mengurusi dirimu sendiri.”
Mata Aiza membelalak menatap neraca dua lengan di hadapannya. “Aku hanya melakukan sesuatu untuk menyelamatkannya. Apa itu salah?”
“Banyak orang di sana. Kau tak perlu repot-repot melakukan itu.” Pak Irsyad lantas mengamati putrinya. “Ayah sudah ingatkan padamu. Cukup menjadi pembicara Top 1 di hari kelulusan nanti!”
Di sebelah, Aidan bergeming. Tak menyangka akan berada di situasi itu. Dia bahkan ragu, apakah keadaan semacam ini adalah kali pertama terjadi.
Kursinya terdorong ke belakang saat Aiza mulai berdiri. Memeluk pulpen hitamnya lebih erat demi memblokade rasa gugupnya. “Di saat seperti ini, Ayah masih berpikir siapa yang harus menolongnya? Jika jadi aku, apa Ayah harus mencari orang lain untuk menolongnya? Bagaimana kalau kita tidak punya banyak waktu?”
Pria berperawakan tinggi itu tak memberi reaksi. Hanya netra tajam yang masih enggan mengalih. Aiza spontan mengganti pandangannya pada kertas-kertas di atas meja. Tak ingin menunjukkan patah hatinya secara terang-terangan.
Aidan meneguk liur. Kemudian kembali menoleh pada pak Irsyad. “Ayah, aku rasa–“
“Lagi pula aku merasa bertanggung jawab atas itu.” Aiza tak sengaja memenggal omongan abangnya.
Pandangan pak Irsyad menyipit. “Apa maksudmu dengan bertanggung jawab? Kau bangga karena kau seorang Consema di sekolah itu?”
Bibir Aiza mendadak kelu. Matanya menyerah memandangi figur ayah yang tak pernah selaras dengan yang idam-idamkan sejak dulu. Yang seharunya menyanjungnya dengan kata-kata manis, mengusap kepalanya ketika merasa bangga, atau sekadar menanyakan keadaannya ketika lelah. Bukannya justru menjadi mesin penghancur batin dengan kalimat remeh yang selalu berhasil melumpuhkan perasaannya.
Lengan kiri Aiza terangkat perlahan. Pura-pura melihat jam tangannya. “Waktuku di sini sudah habis.” Untungnya Aiza dibekali dengan bakat mengalihkan topik. Apa pun akan ia lakukan agar dapat menjauh dari segala hal menyakitkan sehingga ia tetap waras.
“Kau mau ke mana?” selidik Aidan.
“Tentu saja pulang,” jawab Aiza tanpa ragu. “Tapi sebelum itu, aku ingin bertanya satu hal, Yah.” Dia kembali mengatur mimik wajahnya. Berusaha tegar. “Satu hal yang selalu aku tanyakan, tapi Ayah tak pernah benar-benar menjawabnya. Dan ini yang terakhir.”
Posisi Aidan sebagai salah satu anggota keluarga saat itu terasa sia-sia. Himpunan kata-kata seolah mengumpul di mulutnya, tapi tak ia keluarkan juga. Dia Kemudian memperhatikan ayahnya di samping. Pak Irsyad bahkan tak menatap Aiza sebagaimana pria itu menatap dirinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
CONSEMA
Mystery / ThrillerDemi lebih dekat dengan siswanya, SMA Noesantara akan menyeleksi konselor muda dari kalangan siswa tiap tahunnya, yang dikenal dengan 'Consema'. Insiden beberapa tahun silam kembali menyapa. Reputasi sekolah memburuk setelah berita seorang siswi bu...