10 || Lab Kimia

222 37 2
                                    

𝙼𝚒𝚗𝚐𝚐𝚞, 𝟸𝟼 𝙹𝚊𝚗𝚞𝚊𝚛𝚒

Toko Bibi Riri tidak buka hari ini karena sedang jadwal pembersihan.

Aiza ikut membantu untuk mengelap kaca depan bagian luar. Dari dalam, Rei dapat melihat jelas wajah dingin gadis itu yang sejak pagi tadi selalu menghindarinya.

"Kau akan membuat kaca itu pecah," tegur Rei saat melihat Aiza yang menggosok kaca berulang kali hingga berdecit.

Tampak Raut Aiza kian masam. Ia lalu kembali masuk sambil membawa air cucian. Meletakkannya dengan kasar hingga sedikit tumpah.

Rei menghela napas. "Aiza, harus berapa kali aku minta maaf untuk hal kemarin?"

Belum sempat Aiza menjawab, Bibi Riri tiba-tiba datang dari balik tirai dengan susunan loyang yang baru dilap. "Minta maaf soal apa?"

Rei terkesiap.

Aiza menatap Rei sejenak. "Rei mengambil buku PR-ku kemarin."

Rei yang mendengar itu hanya cengengesan meski dia sebenarnya tidak terima dengan tuduhan itu.

Bibi Riri menggeleng singkat. "Jangan begitu, Rei! Apa tidak bisa mengerjakan sendiri?" Lalu kembali ke dapur. Tampak sangat sibuk.

Rei mendengkus. "Bagus, sekarang aku tampak bodoh di depan ibuku."

"Pokoknya, kemarin adalah yang terakhir kalinya kau bertingkah menyebalkan," kata Aiza. "Jika kau ulangi, aku benar-benar tidak akan menyapamu lagi."

Aiza lalu mengalihkan suasana dengan mengecek ponselnya. Bagai di sambar petir, ia begitu kaget saat mengetahui ada pesan masuk dari ayahnya sekitar setengah jam yang lalu. Dia pun buru-buru membukanya. Detik kemudian, dengan sambil menggerutu, ia mulai melepas celemek di tubuhnya dan bergegas keluar.

"Mau ke mana?" tanya Rei.

"Jemput Bang Aidan!" teriak Aiza lalu berlari menyeberangi jalan.

"Ikut!"

"Tetap di sana dan bantu ibumu!"

Setelah sampai di–seberang–toko bunga, ia langsung meraih jaket abu-abunya di atas sofa dan tak lupa mengambil payung lipat di dekat pintu. Berjaga-jaga jika hujan. Tak perlu berpamitan sebab tak ada orang di rumah.

.

.

Di dalam perjalanan menaiki taksi online, Aiza kembali dibuat ternganga dengan isi ponselnya. Puluhan atau bahkan mungkin ratusan notifikasi muncul tanpa henti. Seketika pengikut salah satu akun sosial medianya meningkat drastis. Aiza ingat jika ia hanya menggugah tiga buah gambar dan semuanya tidak begitu menarik. Hanya Dua buah foto langit dan satu potret bangunan tak berpenghuni.

Namun, setelah jeli melihat isi komentarnya, Aiza semakin terkejut karena hampir dari mereka sedang memastikan hal yang sama, yaitu tentang dia yang berhasil memecahkan kasus kematian Fani. Padahal seingatnya, hanya kepala sekolah yang mengetahui itu semua, dan ia telah berjanji untuk tidak membeberkannya.

Karena penasaran, akhirnya Aiza memeriksa web sekolah. Dan benar saja, di sana telah terpampang foto-foto dirinya yang sedang berada di kantor polisi. Anehnya, hanya ada foto dia. Tidak ada satu pun foto temannya. Faktanya mereka selalu bersama kemarin. Ia kembali memeriksa foto-foto itu, yang mana lebih tampak seperti foto yang sengaja dipotong. Aiza mulai mengira jika itu hanya perbuatan wartawan nakal belaka.

Setibanya di universitas, Aiza kemudian bersegera mendatangi lab ayahnya. Dari kejauhan, tampak seorang laki-laki berjaket denim sedang berdiri di depan ruangan laboratorium itu. Berkulit putih dengan potongan rambut undercut serta agak berisi. Aiza melewatinya dan justru melaju ke pintu lab. Menilik sesuatu yang ada di dalam.

CONSEMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang