Zahi masih berdiri di luar. Memantau dari separuh kaca tembus pandang yang ada di sudut ruangan. Bukan untuk mendengar alunan lagu yang dimainkan oleh klub musik, hanya untuk memperhatikan seseorang, yakni Aluna.
Dia masih mengamati dengan tenang. Tak khawatir jika para anggota klub itu akan memergokinya, sebab dia tahu orang-orang di dalam sedang begitu fokus.
Setelah menyelesaikan satu lagu, semua pemain berhenti sejenak. Ini bagian yang Zahi nantikan. Di balik piano besar, Aluna terlihat bergelut dengan partitur di depannya. Sesekali ia mencoret lalu mencoba memainkan tuts pianonya lagi. Berulang kali hingga gadis itu terlihat agak frustrasi.
Sebelum mereka kembali berlatih, Zahi lantas mengambil ponselnya dan mengirim sebuah pesan suara. “Sekarang, Sam!”
Dalam hitungan detik, ruangan itu seketika menjadi kelam. Zahi segera menyingkir dari dinding kaca karena itu satu-satunya media penerangan di ruangan tersebut. Para pemain musik berangsur meninggalkan ruangan karena heran dengan lampu yang mati tiba-tiba. Meski ruangan tak begitu gelap, itu cukup mengganggu mereka. Ditambah ada beberapa alat musik elektrofon yang membutuhkan energi listrik ketika dimainkan.
Zahi mencoba mengintip dari kaca itu lagi, terlihat Aluna juga baru saja keluar mengikuti teman-temannya. Dia pun segera mengambil kesempatan. Berputar arah menuju pintu masuk untuk mendekati piano yang dimainkan Aluna. Zahi lalu mengambil semua kertas partitur yang terpajang dan membawanya ke sudut ruangan tempat cahaya masuk.
Dia pun mengeluarkan surat bertulis tinta biru itu, kemudian menyandingkannya dengan coretan milik Aluna di atas partitur. Pada kertas pertama, Zahi sama sekali tidak melihat kesamaan karena Aluna menulisnya dalam keadaan kesal. Ada satu tulisan lagi di kertas partitur lain. Kali ini cukup rapi, tetapi Zahi masih tidak melihat kesamaan. Tulisan Aluna cenderung miring seperti gaya italic, serta beberapa huruf juga jelas ditulis dengan bentuk yang berbeda.
ᴄᴏɴꜱᴇᴍᴀ
“Kenapa tidak lihat tulisannya langsung,” pikir Fath. “Itu cara yang lebih mudah, kan?”
“Kau ingin aku meminjam buku catatan Aluna? Memintanya menulis sesuatu? Atau minta kepada temannya untuk meminjamkan salah satu bukunya?” papar Zahi. “Kita harus bermain secara rapi, Fath.” Kemudian melirik ke arah Aiza sekilas. “Bukannya ceroboh dengan menanyakan pada mereka satu persatu.”
Aiza bangkit dari sandarannya, lelah menerima sindiran. “Kenapa kau jadi repot-repot begini? Bukannya kau yang bilang bahwa pelaku suka menjadi bunglon.”
Sejenak Zahi memutar pandang ke sekitar taman. Tidak ada satu pun orang di sana kecuali mereka. “Itu hanya contoh. Contoh bagaimana membuat rencana yang lebih tersusun rapi ke depannya.”
Sammy akhirnya kembali dari tugas menyabotase listrik milik ruangan musik. Yang lainnya lega karena Sammy agak lama bukan karena diringkus oleh para anggota klub.
Sammy ikut duduk di bangku taman dan sedikit heran dengan keberadaan Aiza. “Bukannya kau harus mengkoordinir para klub yang berlatih?
Aiza mendesir napasnya dengan berat. “Aku punya semua nomor tiap ketua klub. Mereka bisa menghubungiku jika butuh sesuatu. Lagi pula aku yakin kepala sekolah tahu pasti kalau ini bukan tugasku! Dan seha—”
“Aku sudah tahu!” seru Jia dengan kepala terangkat tiba-tiba. Itu berhasil membuat semuanya kaget.
Fath menilik Jia dengan saksama. “Barusan kau tidak tidur?”
Jia menggeleng sembari memperbaiki posisi kacamatanya. “Aku tadi berpikir untuk memecahkan pola tulisan ini. Dan aku berhasil.”
Jia kemudian mengeluarkan spidol biru dan menggeser buku itu ke tengah-tengah meja semen. Yang lain mulai memperhatikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
CONSEMA
Mystery / ThrillerDemi lebih dekat dengan siswanya, SMA Noesantara akan menyeleksi konselor muda dari kalangan siswa tiap tahunnya, yang dikenal dengan 'Consema'. Insiden beberapa tahun silam kembali menyapa. Reputasi sekolah memburuk setelah berita seorang siswi bu...