47. Penjelasan

32.8K 5.4K 112
                                    

Liora : Bisa ketemuan di taman sekarang?Ada yg pengin gue bicarain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Liora : Bisa ketemuan di taman sekarang?
Ada yg pengin gue bicarain.

Setelah mendapat balasan, Liora langsung merapikan buku-bukunya dengan tenang. Devia dan Sherin sedikit aneh dengan sikap gadis itu hari ini. Terlalu tenang hingga membuat mereka teringat kelakuan sahabat mereka ini sewaktu sebelum amnesia.

“Ra, mau pulang bareng?” tawar Sherin melihat Liora siap pergi.

Liora meliriknya lalu tersenyum tipis. “Gak dulu. Gue duluan, oke?”

Tanpa basa-basi lagi gadis itu beranjak dari tempatnya. Sesampainya di taman, dia melirik arlojinya sambil mengedarkan pandangan.

Ada bunyi pertanda notifikasi masuk. Liora merogoh sakunya dan melihat ponselnya. Senyumnya hampir saja mengembang jika saja seseorang tidak mengganggu.

“Ada apa?”

Liora yang tadinya hendak membalas chat mengurungkan niat. Dia mendongak sembari memasukkan kembali ponselnya ke saku. Menatap laki-laki tanpa ekspresi di hadapannya, dia tersenyum kecil.

“Gue mau klarifikasiin semuanya sama lo. Tentang perasaan dan kelakuan gue. Tentu aja pacar tersayang lo juga termasuk.”

Kening Rezi mengerut. “Terus? Bukannya lo lupa ingatan? Dan kening lo kenapa?” katanya sembari menatap kain kasa yang melekat di kening Liora.

Liora mengibaskan tangannya. “Bukan urusan lo.”

“Ya bukan urusan gue sih, tapi...” Rezi terdiam. Benar, Liora sudah tidak perlu ia pedulikan seperti dulu lagi.

Mata Liora menatap Rezi yang melamun. Dia bisa menebak apa yang dipikirkan laki-laki itu saat ini.

Menghela napas pelan, Liora mulai berbicara to the point. “Gue panggil lo ke sini bukan minta perhatian lo, Rez.”

Tatapan Rezi terhenti di wajah cantik Liora yang terlihat serius. Jantungnya sedikit berdebar. Saat menerima chat dari gadis yang sudah dikenalnya sejak kecil ini, dia sedikit linglung. Dan tanpa disadari, jarinya sudah membalas menyetujui ajakannya.

Rezi mengepalkan tangannya. “Gue... tau.”

“Rez, lo masih inget kan kita sahabatan berapa lama?”

“Dua belas tahun.” gumam Rezi.

“Hm.” Liora mengangguk. “Mungkin lo dari dulu cuman liat gue sebagai sahabat cewek lo. Tapi gue udah anggap lo seperti saudara gue kayak Kak Davin.”

“Ra...”

Please, jangan potong gue dulu.” Kata Liora datar membuat Rezi membungkam. “Perasaan gue ke lo itu kayak gue ke Kak Davin. Gue sayang lo sebagai saudara sekaligus sahabat gue. Dan gue pengen yang terbaik buat lo juga.”

“Maksud lo?”

“Sorry kalo kelakuan gue sebelumnya buat lo risih bahkan gue sampe minta bonyok gue buat tunangan sama lo. Karena kita udah kenal belasan tahun, seharusnya lo penasaran sama alasan gue berubah tiba-tiba.”

Rezi merasa otaknya seakan kosong. Kata-kata Liora seperti ombak yang menerjang hatinya dengan keras.

“Coba lo inget lagi. Sejak kapan gue gak seneng lo punya pacar? Gue masih inget mantan pacar lo sebanyak delapan. Lo pacaran pertama kali waktu SMP kelas tiga.”

Mata Rezi melebar. “Ra? Ingatan lo udah balik?”

Liora mengabaikan pertanyaannya dan melanjutkan, “Selain Zia, waktu lo pacaran emang gue ada recokin hubungan lo? Enggak, kan?”

“Hooh.”

“Asal lo tau, Rez. Gue gak mau lo sama Zia itu karena dia nggak baik. Dia cuma manfaatin lo! Kalo dia cewek kayak mantan pacar lo sebelumnya mah gue bakal bodo amat, Rez.”

“Zia gak gitu, Ra.”

“Gue juga gak nyangka gitu. Tapi gue denger dia teleponan di toilet cewek sama temennya. Dia ngeremehin lo, Rez! Gue gak bisa terima sahabat gua digituin. Tapi apa? Lo malah belain dia dibanding gue.”

Liora berdecih mengingat kejadian saat pertama kalinya melabrak dan menangkap basah Zia di toilet.

“Gue—”

“Lo cuman liat sisi dia nangis dan menye-menye doang sedangkan gue terlihat agresif. Jadi lo nganggep gue gangguin dia, kan?”

Rezi tidak bisa berkata-kata. Memang benar apa yang dikatakan Liora. Ketika dia mendengar Zia dan Liora memiliki masalah di toilet perempuan, dia segera ke sana lalu melihat Zia menangis hingga terisak. Dia begitu terlihat lemah dibanding Liora sangat dipenuhi amarah. Namun di hatinya, gadis manis dan lembut seperti Zia tidak bisa disamakan dengan gadis munafik dan bertopeng seperti yang dikatakan Liora.

“Kalo bener, kenapa lo gak mau kasih tau gue langsung?” tanya Rezi dan dia sendiri bingung dengan hatinya. Percaya dengan Liora atau Zia.

“Gue udah berusaha kasih tau lo, tapi bukannya elo gak mau dengerin? Dan lo mau denger apa yang dia katain ditelepon? Lo cuma punya duit tapi bego, mudah dimanipulasi dan som—”

“LIORA!”

Kata-kata Liora terputus karena panggilan gentir itu. Seorang gadis yang tidak lain adalah Zia datang dengan mata memerah dan air matanya telah turun dengan lancar di pipinya.

“Aku salah apa sama kamu sampai kamu fitnah aku seperti ini?”

Liora melipat kedua tangannya di depan dada. “Gue fitnah elo? Gak sadar atau gak mau buka topeng?”

Air mata Zia turun semakin deras. “Kamu segitu bencinya sama aku sampe ngomong kayak gitu? Aku tau aku miskin, yatim piatu dan masuk ke sekolah bergengsi ini dari pintu belakang. Tapi bukan berarti kamu bisa benci aku segininya.”

Zia melirik Rezi dengan penuh keluhan lalu kembali menatap Liora. Kedua tangan mengepal. “Kamu benci aku karena pacaran sama Rezi, kan? Jika aku putus dari Rezi, apa kamu bakal berhenti benci aku? Oke, aku bakal lakukan apa yang kamu mau sedari dulu.”

“Zia, gak—”

“Rezi, maaf. Kita putus.” Zia menatap Rezi dengan sendu sejenak sebelum berlari dengan cepat.

“ZIA!” Sebelum mengejar pacarnya, Rezi terhenti dan melirik Liora dengan dingin. “Sekarang lo puas?”

Liora menatap punggung Rezi yang semakin menjauh. Sudut bibirnya terangkat mencibir. Seperti dugaannya, ini tidak akan berhasil. Meskipun apa yang dia katakan semuanya fakta, wajah menyedihkan yang dibuat Zia akan membalikkan keadaan.

Seperti saat ini. Rezi mengejar Zia dan seakan melupakan semua yang dia katakan. Sahabat yang sudah dia anggap seperti saudara kandungnya itu menganggap semua kata-katanya sebagai angin berisik yang segera berlalu.

Miris. Demi sahabatnya yang tidak mempercayainya, dia harus sampai dititik ini.

Melihat sepasang sepatu di depannya, perlahan Liora mendongak.

“Sesuatu yang perlu lo beresin itu maksudnya dia?” Suara dinginnya langsung menyadarkan Liora.

“Ar...” cicit Liora.

Archeron masih menatapnya tanpa ekspresi. “Pulang.” katanya lalu berbalik dan berjalan lebih dahulu.

Liora mengangkat tangannya hendak menjelaskan, namun tangannya terhenti di udara dengan kaku. Dia memejamkan mata sejemang kemudian segera mengikuti laki-laki itu.

Hari ini berakhir seperti dugaannya. Bonusnya adalah Archeron menjadi marah.

TBC

ARCHERON ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang