Bangunan tua yang entah bagaimana bentuknya sebelumnya kini telah menjadi puing-puing reruntuhan. Debu tebal berterbangan di udara, menghalau penglihatan untuk melihat lebih jelas.
Kaki Liora menapak pada tanah. Langkahnya terarah tak menentu. Di tempat ini, tidak ada orang selain dia. Dia terbatuk-batuk sejemang sembari mengibas untuk mengusir debu di hadapannya.
Langit sangat terik, menyengat di atas kepalanya hingga menimbulkan pening. Dia menginjak puing dari dinding yang telah hancur sembari mengamati. Untuk apa dia berada di sini, bahkan dirinya sendiri tidak tahu. Dia hanya berjalan mengitari gedung yang telah hancur ini dan melihat-lihat.
Dan ketika dia hendak melewati sebongkah dinding, kakinya tidak cukup kuat menapak hingga membuat dirinya kehilangan keseimbangan dan jatuh terduduk di tanah.
“Awh,” pekiknya sembari menggosok bokongnya.
Namun saat dia hendak berdiri, tatapannya tak sengaja mendapati sebuah tangan yang terulur dari tumpukan puing-puing.
Dia perlahan melangkah mendekat dengan tak pasti. “Hei... lo gak papa?”
Liora berjongkok di depan tangan yang terlentang itu. Tatapannya kemudian jatuh pada cincin yang berada dalam rantai kalung di tangan tersebut.
Mata gadis itu melebar. Dengan panik dia mengeluarkan kalung yang menggantung di lehernya lalu menatap cincinnya serta cincin di tangan tersebut berulang kali.
Tangannya seketika gemetar. “Gak mungkin.”
Dia segera berusaha mengangkat puing-puing dinding dengan gugup. Sekujur tubuhnya semakin bergetar saat melihat setengah tubuh di bawah puing-puing tersebut.
Dan saat mengangkat satu bongkahan dinding yang terakhir, matanya jatuh pada wajah tampan yang kini tertutupi debu dan darah yang pekat.
“Ah...” Liora melangkah mundur tak percaya. Matanya memanas dan air mata segera menggenangi pelupuk matanya. Tiba-tiba dia terjungkal begitu kakinya tersandung dinding di belakang.
Merasakan sakit di bokongnya lagi, air matanya langsung mengalir. Namun rasa sakit itu tidak sebanding dengan perasaan tak tertahankan di dadanya.
Seakan baru kembali ke kesadarannya, Liora berteriak histeris, “ARCHERON!”
Dia merangkak menuju sosok yang berbaring kaku dengan tergesah-gesah. Mengangkat kepalanya dan meletakkannya di pangkuannya. Air matanya terus berjatuhan di wajah yang berlumuran darah tersebut.
“Ar, bangun Ar!” Dia menepuk pipi laki-laki itu pelan. Suaranya parau dan tercekat. Sekujur tubuhnya terasa lemas melihat darah yang semakin banyak keluar dari kepala laki-laki itu.
“Ar...” bisiknya parau. Punggungnya bergetar dengan isakan pelan keluar dari mulutnya. “Kenapa lo bisa jadi gini.”
Dia menunduk menatap mata Archeron yang terpejam dengan damai. Hatinya semakin kacau balau.
“Bangun... ARCHERON!”
Liora menegakkan punggungnya dengan napas tersengal-sengal. Air matanya mengalir turun dengan lancar melewati pipinya. Keningnya dipenuhi peluh dan matanya memerah.
Perlahan dia mengedarkan pandangan dan mendapati dirinya berada di kamarnya dengan posisi duduk di atas kasur sambil ditutupi selimut hangat. Beberapa menit bergeming dengan napas tak beraturan, dia baru sadar bahwa semuanya adalah mimpi.
Saat ini, jantungnya masih berdetak dengan kencang. Semua yang ada didalam mimpi tersebut begitu nyata. Bahkan rasa sakitnya.
Di sana Archeron...
Sekujur tubuh gadis itu menegang. Dengan panik dia mencari ponselnya dan segera menghubungi nomor yang sangat ia hafal.
Mendengar suara berat di seberang telepon, air mata Liora kembali jatuh. “Ar...”
“Liora? Kenapa?” Di seberang samar-samar suara Archeron terdengar khawatir.
Liora memejamkan matanya. Bayangan dari mimpi itu masih melintas dengan jelas di benaknya. Dia diam-diam mengatur napas sejenak.
Mungkin karena tidak mendengar Liora berbicara, Archeron kembali memanggil, “Ra?”
“Lo di apartemen, kan?” bisik Liora menahan suaranya agar tidak bergetar.
“Mm. Lo kenapa?”
“Gak papa. Gua mau ketemu lo di sana. Jangan ke mana-mana.” katanya dengan cepat dan langsung mematikan panggilan.
Tangannya yang memegang ponsel untuk menempel di telinganya langsung terjatuh di atas kasur. Tubuhnya masih terasa lemah. Dia memandang ke depan dengan tatapan kosong sebelum berusaha beranjak menuju kamar mandi.
15 menit kemudian dia keluar dari kamar dengan kaos oversize putih dan jeans hitam sembari menggantung tas selempang di bahu kirinya. Dia dengan terburu-buru menuruni tangga mencari Pak Teo dan mendesaknya menuju apartemen Archeron.
Matanya tertuju pada jam di ponsel. Sekarang masih pukul 11.22 dan dia sedang terjebak macet. Kakinya bergerak tak menentu, menahan rasa cemas yang semakin besar.
Gadis itu tergesah-gesah mengeluarkan permen milkita rasa stroberi dan segera mengemutnya. Rasa berat di dadanya sedikit menghilang ketika rasa manis dari permen susu stroberi itu menyebar si lidahnya. Rasa stroberi memang selalu bisa menghilangkan rasa cemasnya.
Satu jam kemudian, akhirnya Liora melihat bangunan apartemen Archeron. Tak membuang-buang waktu lagi, dia bergegas menuju lantai di mana kamar apartemen laki-laki itu berada dan menekan bel.
Beberapa detik kemudian pintu terbuka dan Liora segera melemparkan diri pada sosok di hadapannya.
Tanpa terasa air matanya kembali meluruh, membasahi kaos laki-laki tersebut. Ketakutan, kepanikan dan kecemasannya melebur menjadi satu. “Ar...”
Archeron yang mendapat serangan tiba-tiba begitu membuka pintu langsung tertegun menatap kepala yang hanya mencapai dadanya. Pelukan gadis itu sangat erat, membuat dia bertanya-tanya apa yang terjadi.
“Ra, duduk dulu baru kasih tau gue lo kenapa.” Bujuk Archeron lembut namun Liora semakin mengeratkan pelukannya.
Archeron merasa sedikit tidak berdaya menghadapi perilaku anehnya. Dia berusaha menggapai pintu dan menutupnya kembali kemudian membujuk Liora.
Dia mengelus rambut gadis itu sembari menundukkan kepala untuk berbisik di telinganya, “Duduk di sofa dulu, baru lanjut pelukannya, oke?”
Namun Liora sangat keras kepala. Dia masih menangis dengan tubuh melekat seperti lem, seakan tidak mendengar kata-katanya.
Hati Archeron melembut. Akhirnya dia sedikit berkompromi. “Mau gue gendong ke sofa?”
Kali ini Liora mendengarkannya. Dia mengalungkan kedua tangannya di leher Archeron dan melompat. Kedua kakinya melingkari pinggang Archeron, bergantung pada tubuh laki-laki itu seperti koala.
Archeron tidak bisa menahan tawanya. Jadi dia memeluk gadis itu ala koala dan menuju sofa untuk duduk dengan gadis itu di pangkuannya.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
ARCHERON ✓
Teen Fiction[SUDAH TERBIT | PART LENGKAP] Shaquilla Lioraca Naraya mengalami amnesia retrograde yang menyebabkannya melupakan 2 tahun belakangan. Dia tidak mengerti mengapa sahabatnya Rezi membencinya, mengapa nilainya anjlok di bangku SMA, dan mengapa dia sebe...