Archeron kembali mengelus rambut Liora, merapikan rambut yang menutupi sisi wajahnya dan mengaitkannya ke belakang daun telinganya. Dengan lembut dia bertanya, “Ada apa?”
“Archeron...”
“Iya, gue di sini.” jawab Archeron dan membungkus punggung Liora dengan kedua tangannya.
Gadis itu kembali memanggil, “Ar...”
Sedari dulu Archeron tidak pernah membujuk seseorang dan tidak tahu bagaimana caranya. Jadi dia teringat kata-kata seorang kakak kepada adiknya dan berusaha mencobanya. “Siapa yang gangguin? Nanti gue balas buat lo.”
Perlahan Liora merenggangkan pelukannya namun kepalanya masih menunduk. Kedua tangannya sibuk menghapus air matanya dengan bibir masih mengeluarkan isakan kecil.
“Ra, liat gue.”
Liora menggeleng pelan. “Gak, muka gue lagi jelek.”
Archeron terkekeh lalu mengangkat dagu Liora untuk menghadapnya. Dia menatap mata merah dan bengkak gadis itu kemudian memajukan wajahnya untuk mengecup matanya bergantian.
Liora tersipu. “A-ar,”
“Udah nangisnya? Sekarang cerita kenapa lo nangis.”
Kedua tangan Liora terletak di pundak Archeron. Dia sedikit menunduk dengan sedih. “G-gue mimpi lo, Ar. Lo di sana tertimbun reruntuhan. Lo berdarah dan gue gak bisa selamatin lo... Ar, gue gak bisa...”
Archeron kembali merasa tubuh gadis itu gemetar dan menatap matanya yang kembali mengeluarkan air mata. Dia seketika merasa geli. “Tapi gue sekarang di depan lo. Itu cuma mimpi, gak usah takut.”
“Tapi itu terasa nyata, Ar!” Suara Liora meninggi. Air matanya terus meluruh. “Lo berdarah, mata lo tertutup, bahkan lo gak respon panggilan gue... gue—”
Kata-kata Liora terputus begitu Archeron memegang dagunya dan menyegel bibirnya menggunakan miliknya. Mata Liora melebar bingung, menatap laki-laki di depannya yang memejamkan mata. Dia bahkan lupa untuk menangis.
Archeron melepaskannya dan berbisik di depan bibirnya, “Tutup mata.” Setelah itu dia kembali menyentuh bibir Liora.
Tangan Liora yang berada di pundaknya bergetar. Dia perlahan memejamkan mata dan diam tidak tahu harus melakukan apa.
Namun itu tidak tahan lama, Liora segera membuka mata sembari memukul dada Archeron untuk menghentikannya. Mengikuti kemauan gadis itu, Archeron menggigit lembut bibirnya sebelum memundurkan kepalanya.
Melihat wajah Liora yang memerah seperti tomat dengan ekspresi kaku, Archeron tertawa rendah kemudian suaranya yang tiba-tiba menjadi serak terdengar, “Bernapas.”
Liora mengerjap sebelum mengikuti kata-kata itu. Dengan rakus dia menghirup udara sambil tersengal-sengal. Kemudian dia bergumam pelan, “Pantes aja gue ngerasa pusing tadi.”
“Udah gak sedih lagi?”
“Ar,”
Archeron meliriknya dengan sudut bibir terangat, menyeringai tipis. “Kalo lo nangis lagi gue cium.”
Mata gadis itu melebar. Dan tiba-tiba dia baru menyadari bahwa posisi duduknya sangat berbahaya, yakni dipangkuan Archeron. Dengan tergesah-gesah dia bangkit sambil menggaruk tengkuknya.
“G-gue lapar belum sarapan tadi pagi. Lo punya mie gak?” kata Liora mengalihkan pembicaraan. Dia melangkah ke dapur dengan canggung.
Mata Archeron tidak lepas dari sosok Liora. Dia tanpa sadar menjilat bibirnya sebelum bangkit mengikuti Liora yang kini mengobrak-abrik dapur kecilnya mencari mie.
Archeron membuka laci bagian atas dan berkata, “Di sini.”
Pandangan Liora tertuju pada setumpuk mie di laci tersebut. Matanya berbinar. “Gue mau makan dua bungkus.”
Ketika gadis itu hendak memasaknya, Archeron segera menghentikan. “Biar gue yang masak. Mata lo masih bengkak. Kompres dulu pake es di kulkas.”
Tanpa sadar Liora menyentuh matanya. “Oh, oke.”
Tatkala Liora berbalik, Archeron menahannya. Gadis itu memandangnya bingung. “Kenapa?”
Tatapan Archeron tertuju pada bibirnya yang sedikit bengkak dan merah. Dia tidak bisa menahan diri untuk merunduk dan mengecup bibirnya beberapa detik sebelum mengusap kepala Liora. “Udah.”
Wajah Liora kembali memerah. Dia memelototi Archeron dan dengan terburu-buru kabur dari sana, meninggalkan Archeron yang terkekeh geli.
Lima menit kemudian Liora kembali ke dapur dan melihat Archeron sedang merebus air di panci. Dia duduk di kursi depan pantri yang membatasi dapur dengan ruang makan sembari menempelkan kain yang membungkus es ke matanya.
Pikiran Liora kembali melayang ke mimpinya. “Ar, apapun alasannya jangan pernah masuk ke bangunan tua, ya?”
Archeron menoleh menatapnya dan dengan mudah menyetujui. “Oke.”
Liora menopang dagunya, menatap punggung Archeron sambil cemberut. “Ar, sebenernya kita ini apa sih?”
“Manusia.”
“Ish, bukan itu maksud gue.”
Archeron mendekat, meletakkan dua tangannya di atas pantri untuk menopang tubuhnya. “Teman tapi mesra keliatannya bagus.”
“Ar!” Liora melotot. Dia membutuhkan status yang pasti.
“Liora pacarnya Archeron. Gitu?”
Jantung Liora hampir saja melompat. Dia menatap Archeron yang tersenyum dan seolah tersihir senyuman tampannya, dia mengangguk mengiyakan.
“Kalo gitu Liora sah jadi pacar Archeron. Gak boleh menyesal.”
“Gak bakal.” Kata Liora tegas dan diam-diam malu sendiri.
Puas mendengar jawabannya, Archeron berbalik untuk melanjutkan memasak mie. Liora tersenyum diam-diam, memerhatikan pacarnya dengan senang hati.
Ah! Akhirnya pacaran!
Tahu begitu dari dulu Liora bertanya tentang status mereka bukannya malah mengajukan permintaan yang aneh-aneh.
“Bukannya lo liburan?” tanya Archeron tanpa berbalik.
Mendengar itu senyuman Liora luntur. Jemarinya menari-nari di atas pantri. “Kak Davin sibuk. Liburannya jadi batal.”
Archeron tersenyum. Setelah mie siap, dia meletakkannya di hadapan Liora membuat gadis itu langsung semringah. Archeron kembali ke dapur untuk mencuci tangan lalu kembali berdiri di hadapan Liora, di antara mereka masih terpisahkan pantri.
“Kenapa belum dimakan?”
Liora mendongak dan cengengesan. “Lagi nunggu mienya mengembang.”
Archeron hendak berkata lagi, namun terganggu oleh getaran ponselnya di celana. Dia mengeluarkan benda pipih itu dan menatapnya. Ekspresinya seketika berubah dingin, jauh berbeda dibanding suasana hangat sebelumnya.
Liora yang hendak menyantap mienya terhenti melihat ekspresi dingin Archeron. “Ar? Lo kenapa?”
Mendengar suara lembut gadis itu, Archeron tersadar. Dia memasukkan ponselnya ke saku dengan tenang. Ekspresinya yang dingin berubah begitu melihat Liora.
Dia mengelus kepala gadis itu lembut. “Gak papa. Cepet makan mie lo. Nanti dingin.”
Keraguan Liora seketika sirna. Dia mengangguk antusias dan menunduk untuk memakan mienya. Dalam hati dia mendengus bahagia. Benar-benar nikmat.
TBC
ASTAGA ARCHERON GAK SUCI LAGI!!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
ARCHERON ✓
Teen Fiction[SUDAH TERBIT | PART LENGKAP] Shaquilla Lioraca Naraya mengalami amnesia retrograde yang menyebabkannya melupakan 2 tahun belakangan. Dia tidak mengerti mengapa sahabatnya Rezi membencinya, mengapa nilainya anjlok di bangku SMA, dan mengapa dia sebe...