Bab 65

86 5 2
                                    

||AETERNA||

Dua tahun semenjak kepergian Davin dari hidup Zelia, pikiran gadis itu tak pernah lepas dari sang kekasih. Tentu saja, kenangan manis dulu terasa mencekiknya, mengingatkan tentang kelalaiannya menjaga perasaan. Tak pernah terpikirkan oleh Zelia mengenai panggilan Davin padanya sebelum lelaki itu menghembuskan napas terakhir.

Nama Delila keluar dari bibir Davin tanpa keraguan sedikit pun. Seakan nama Delila selalu digunakan lelaki itu untuk memanggil kekasihnya. Hal itu rupanya tak pernah terpikirkan oleh Zelia, semua tenggelam begitu saja bersama rasa sesak yang terus menghimpitnya. Zelia terlalu lama berdiam diri di dalam kegelapan, hingga hal yang penting seperti ini dilupakannya begitu saja.

Namun hari ini, saat Wiwin bicara perihal kisah Delila dan Davin, rasa penasaran seketika menggigit dan mengrogotinya. Ada rasa enggan untuk mencari tahu, tapi Zelia benar-benar dibuat bingung dengan panggilan Davin untuknya. Rasa penasaran yang teraduk bersama kebingungan seketika muncul ke permukaan. Zelia mau tak mau mengikuti Wiwin untuk menemui pria yang Zelia anggap misterius tersebut.

Saat kaki kurusnya berjarak beberapa langkah dari meja pria itu, Zelia terdiam sambil menelisiknya dalam kebisuan. Wajah tegas dan berkulit putih, rambut coklat yang ditata sedemikian rapi, serta tubuh tegap terbalut jas biru dongker. Wajah, gestur, bahkan namanya saja Zelia tak ingat. Yang Zelia ingat dari perbincangannya dengan Wiwin sebelum-sebelumnya, kalau pria itu adalah pengusaha terkenal.

Kelopak mata Zelia mengerjap, terkesiap saat sosok berpenampial necis itu melihat ke arahnya. Zelia berdeham sejenak sebelum meneruskan langkahnya sambil menunduk, matanya sempat menemukan senyum di bibir pria itu. Zelia merasa sesuatu yang berat tengah menimpanya, membuat langkah kakinya terasa berat. Sebab ia tahu, sebentar lagi dia akan kembali terlempar pada kenangan dulu. Hal itu sama saja membuka jahitan lukanya satu per satu.

"Hai," sapa pria itu begitu Zelia berdiri di depannya. Ia bangkit dari duduk sambil tersenyum lebar.

Sementara Zelia sibuk menyisir tatapannya pada wajah asing itu, berusaha menempelinya dengan kejadian-kejadian bersama Davin. "Siapa kamu? Kenapa kamu tahu soal Davin?" Zelia bertanya tajam. Dia tak mengenali orang ini. Pun dia yakin Davin juga tak mengenalinya.

"Oh, kamu langsung ke intinya ya." Dia terdiam sebentar, bola matanya beralih menyapu suasana cafe. "Tapi saya pikir percakapan kita berdua gak bisa dibicarakan di sini."

"Kenapa?" tanya Zelia cepat.

"Pembahasan kita terlalu berat. Saya gak yakin kamu bisa tenang setelah dengar semuanya."

Zelia menelan ludahnya pahit, tiba-tiba saja dia merasa takut, takut akan fakta yang harus di dengarnya. Apakah dia bisa? Mentalnya menolak keras, Zelia yakin dia akan semakin terpuruk setelah ini. Tapi benaknya justru ingin Zelia mengikuti pria itu. Biar saja berdarah-darah, sebab hidupnya sebelum ini juga sudah pahit.

"Kalau kamu belum siap, kita bisa bicara lain kali. Saya akan sering-sering mampir ke sini—"

"Saya siap," potong Zelia cepat. Pria itu mengangkat kedua alisnya sebelum terkekeh pelan. "Dimana kita harus bicara?" tanya Zelia mengabaikan reaksi di depannya. Ia tak peduli biarpun orang di hadapannya ini adalah orang asing.

"Kamu harus minta izin pulang dulu. Kita bicara di luar." Ia mengedikan dagunya. Kedua tangannya masuk ke dalam celana bahan berwarna biru yang tersetrika rapi.

Zelia mengangguk patuh lalu bergegas ke belakang untuk mengambil tas dan cardigannya. Ia menelpon Gema, memberitahu pria itu bahwa dia izin pulang lebih awal. Zelia akan menitipkan cafe pada Irma, pegawai yang paling lama bekerja di sini.

AETERNA  | Selesai✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang