Bab 66

122 4 0
                                    

||AETERNA||


Davin tahu, ada bongkahan batu yang masih mengendap dalam benaknya. Sekeras apa pun otaknya mencuci bersih semua perkataan Kevin, tetap saja kalimat lelaki itu mengema di telinganya. Terus berputar seperti kaset rusak. Davin ingin melupakannya, menganggap cerita konyol tersebut tak pernah masuk ke dalam telinga. Namun otaknya bekerja sebaliknya, mempersilahkan semua itu terpahat di dalam.

Kevin seakan menanam racun yang berhasil menyebar di seluruh isi otak Davin. Belum lagi saat kilas balik tentang penggalan kalimat Zelia yang terkesan aneh muncul ke permukaan—sewaktu Davin masih ingin mengusir Zelia dari hidupnya. Davin benci dengan ingatannya yang begitu kuat, sehingga masih bisa mengingat kalimat Zelia di taman waktu itu.

" ... Yah, gue sadar, kadang melepas sesuatu yang udah ditangan kita itu lebih baik ketimbang mendapatkannya dengan alasan keterpaksaan."

Keterpaksaan?

Apa semua kedekatan Zelia padanya hanya keterpaksaan semata?

Paksaan oleh aturan aneh yang disebutkan Kevin?

Lantas, apa perasaan Zelia padanya juga ... terpaksa?

Pertanyaan terahkir sanggup meremas jantung Davin, hatinya berdenyut kesakitan. Kepalanya tergeleng sendiri, menolak asumsi menyakitkan itu. Namun sekali lagi, Davin tak bisa menyingkirkan semua ini begitu saja. Dia bahkan mendiamkan Zelia setelah menjemput gadis itu di sekolah, Davin tak mampu menyembunyikan raut mendung di wajahnya. Dia tahu, Zelia menyadari perubahan ganjil pada dirinya, gadis itu juga semakin kesal saat Davin menjawab pertanyaannya dengan jawaban pendek seperti dirinya yang dulu. Entahlah, Davin telah dipengaruhi bisikan menyakitkan yang sanggup menusuk sudut hatinya. Dia membiarkan Zelia dirundung kesal dan kebingungan karenanya.

Namun pertahanan Davin kian rapuh begitu dengan ragu-ragu Zelia berbicara panjang lebar soal kesehatannya. Dengan sedikit takut dan tundukan kepala, Zelia seakan menuang semua isi kepalanya dan hal itu berhasil menghangatkan hati Davin. Ia luluh.

"Gue gak minta lo cerita masalah lo, kok. Gue cuma pengin lo mikirin diri sendiri, kesehatan lo. Yah ... kalau lo anggapnya gak penting, pikiran aja orang yang lagi mikirin lo. Em ... maksud gue ya bokap-nyokap lo."

Betapa bodohnya Davin yang meragukan perasaan Zelia disaat kedua bola mata bening itu menyiratkan kasih sayang dan kejujuran. Zelia berhasil menghanyutkan benang hitam yang sempat mencederai hati Davin. Dalam tundukan kepalanya, Zelia tak tahu bahwa Davin diam-diam tersenyum. Bibirnya melengkung lebar, ia terpaku oleh keterpanaan akan perhatian Zelia yang sanggup meniup bara api di dadanya.

Davin memang selemah itu jika masalah hati. Ia tak perlu apa pun lagi yang mampu mengoyahkannya, dia yakin akan cinta yang telah Zelia semai. Jika ditanya saat ini, apakah Davin mencintai Zelia, ia tak tahu. Davin masih merasa baru dengan hal itu. Davin tak ingin kehilangan gadis itu, selalu merindukannya, mengkhawatirkannya, cemburu jika ia dekat dengan cowok lain. Apa itu bisa disebut cinta? Davin tak tahu.

Tuhan. Jika pun cerita yang diungkap Kevin terbukti benar, Davin tak peduli. Delila, Zelia, atau dari mana gadis itu berasal, Davin tak peduli. Biarlah perasaan Davin menguasai dirinya saat ini. Ia menutup telinga dan mengunci rapat bibirnya begitu Kevin kembali setelah ia mengantar Zelia ke kediaman Ayu. Pria itu terus mengoceh tiada henti. Meski Davin sudah sepenuhnya percaya dengan cerita aneh Kevin, namun kali ini ia memilih menebalkan hati dan fokus pada kemudi.

"Lo dengarin gue gak, sih? Dari tadi gue ngomong lo diemm aja kek patung. Lo gak peduli sama Zelia, iya? Oh, atau jangan-jangam lo masih mikir soal perasaan Zelia ke lo?" Davin hendak membuka suara saat tahu-tahu tangan Kevin menutup mulutnya. Davin berdecak, menyingkirkan tangan Kevin. Pria itu mengangkat jari telunjuknya seakan mengingat sesuatu. "Sebelum kita bahas soal Delila eh maksud gue Zelia, kita harus bahas masalah gue. Ini penting banget!"

AETERNA  | Selesai✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang