🍇Happy reading🍇
..
Namanya Delila. Gadis belia berumur 17 tahun itu bersekolah di salah satu sekolah elit di Jakarta. Itu saja. Tidak ada yang menarik di dalam hidupnya untuk dibagi. Hari ini seperti biasanya, untuk pelajar SMA seperti Delila harus berangkat pagi untuk menuntut ilmu. Bukan mau menyombongkan diri dengan sok rajin, namun itu sudah menjadi kebiasaan di kesehariannya.
Delila mematut diri di depan cermin membiaskan seorang gadis polos dengan kacamata bulat min bertengger manis di hidungnya, rambut coklat yang selalu dikepang, tak lupa gigi kawat yang terus bersarang di gigi putih itu. Seragam dengan logo OSIS SMA yang di kancing hingga kerah dengan dasi biru panjang yang melingkar apik di lehernya, rok abu-abu dibawah lutut dengan kaus kaki di atas betis. Nerd. Iya. Delila tahu satu kata itulah yang ada dibenak kalian, namun ia sama sekali tak peduli. Toh dengan penampilan ini Delila lebih nyaman dan aman, bukan?
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya, bersegera Delila berderap cepat menuju pintu.
"Neng Lila, sarapannya sudah Bibi siapkan." Suara itu berdengung pelan saat pintu terbuka. Delila menyungging senyum samar dan wanita berapron bunga matahari itu membalasnya dengan senyum sungkan.
"Iya Bi, nanti Lila turun. Em … Papa ikut sarapan juga nggak?" Lagi-lagi pertanyaan bodoh kembali Delila lontarkan. Senyum Bi Imah perlahan memudar, bisa Delila lihat wanita itu kepayahan mencari-cari jawaban. "Gak ada ya?" tanyanya lagi.
"Ada kok Neng, tapi-"
"Ada?!" Tanya Delila kelewatan antusias dan Bi Imah hanya menggangguk sebagai jawaban. Dengan super cepat Delila kembali ke dalam kamar, menyambar tas ransel birunya lalu disampirkan ke bahu. Ia berlari melewati Bi Imah di pintu dengan bibir tertarik lebar. Hingga hampir saja gadis remaja itu terpeleset di tangga jika tak berpegangan pada pilar yang berdiri di sebelahnya. Namun tetap saja sumringah di bibir pucatnya tak pudar. Dan saat kakinya mendarat di lantai ruang makan, rasanya seluruh pilar di rumahnya runtuh seketika, ulu hati Delila berdenyut kesakitan, tenggorokannya kering kemarau, dan kepala kecil Delila seperti ditusuk ribuan jarum. Delila mengayunkan kakinya mundur. Pemandangan kemarin kembali terulang.
Tuhan … ada apa dengan hidupku? kenapa harus seperti ini?!
Delila memutar tumitnya, menemukan Bi Imah yang menatap dirinya dengan raut wajah meminta maaf. Tidak. Ini bukan salah Bi Imah. Bukan Adrian, bukan pula Mayang. Ini salah Delila. Salah takdirnya yang pahit itu. Tidak seharusnya ia dilahirkan di bumi jika hanya menanggung pilu. Tak seharusnya dia ada. Ini salah, semua ini salah Delila.
Ia kemudian berlari sekuat tenaga keluar rumah berharap lariannya ini bisa menembus ke alam lain, di mana Delila bisa hidup tenang dan damai seperti cerita-cerita fantasi yang sering dibacanya. Masalahnya ia bukan hidup di dunia imajinasi melainkan di alam nyata, bumi dengan zaman modernnya.
Mang Ujang menepati janjinya. Sepeda biru langit milik Delila telah kembali seperti semula, rantainya telah di sambung sempurna. Delila perlahan menaiki sepeda berwarna biru langit itu, lalu kaki kurusnya mulai mengayuh pelan-pelan keluar dari kediaman megah milik Adrian. Kering kerontang di hati Delila perlahan diisi kembali kala mata bersampul kaca mata bulat itu melihat kabut embun yang menutupi rerumputan membentuk butiran-butiran kristal cantik sepanjang bahu jalan. Sang surya, dengan mode malu-malunya bersembunyi dibalik kawanan awan putih, bersama gemersik daun-daun yang menggantung di rantai pohon melambai ria seakan mengajak matahari untuk memulai tugasnya. Senyum Delila perlahan muncul.
Cantik sekali ciptaan Tuhan yang satu ini. Tak hanya itu, telinga Delila bisa mendengar kicauan burung mulai memberi irama kesejukan, meskipun keadannya sangat dingin karena udara pagi yang membeku. Delila menghentikan kakinya mengayuh sepeda. Kedua kelopak matanya tertutup perlahan sekitar 5 menit, bersamaan dengan kedua lubang hidungnya mengais udara pelan-pelan lalu menghembusakannya perlahan. Sekedar meresapi udara pagi, itu cara Delila menghargai karya Tuhan. Terlepas dari semua beban yang ia tanggung, Delila harus tetap bersyukur pada-Nya karena bisa di suguhi pemandangan seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
AETERNA | Selesai✓
Teen FictionFOLLOW AUTHOR SEBELUM BACA:-) {Cerita ini hanya FIKTIF belaka. Jika ada kesamaan nama, tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan} Blurb : Menjadi gadis dengan hidup yang begitu memilukan bukan...