Bab 48

95 11 5
                                    

||AETERNA||

Zelia diserang flu berat, sakit yang di deritanya membuat kepalanya juga ikut terkena imbasnya. Sudah dua hari semenjak berita mengegerkan itu, Zelia tak masuk sekolah. Entah apa yang telah terjadi pada Davin setelahnya, ia tak menerima kabar burung apa pun, oh atau lebih tepatnya ia tidak ingin mendengar apa pun.

Katakanlah, bahwa Zelia terlalu pengecut. Dia terlalu takut untuk meminta maaf pada Davin. Karena sejujurnya Zelia juga merasa bersalah. Tentu saja. Kata-kata Davin tempo hari bukan saja menyakitinya tapi juga menyadarkannya bahwa ia adalah manusia penakut. Zelia tidak memiliki keberanian untuk menatap kebenaran bersama Davin. Kebenaran bahwa Davinlah anak kandung dari Adrian.

Zelia bersembunyi di unitnya setelah menderita luka parah dihatinya. Kata-kata Davin yang menohok serta sikap dinginnya yang mengacuhkan Zelia, membuat gadis itu menyimpan perih di dada, bersembunyi di ruang pekat bersama luka dipelukannya. Zelia tak bisa lagi mendekskripsikan betapa hancurnya dirinya saat ini.

Babak belur dihantam dengan kalimat yang sama persis seperti racun yang telah di telannya, membuat Zelia lebih memilih mendekam di apartmentnya. Ya, Zelia memang sepengecut itu. Dia meminta izin pada sekolah bukan dengan keterangan sakit seperti yang di alaminya, melainkan Zelia berbohong bahwa ia sedang ada kepentingan keluarga. Zelia tak ingin teman-temannya cemas, begitu juga dengan Davin. Ah, tapi Zelia jadi meragu jika mengingat kesalahannya pada Davin.

Apa Davin khawatir padanya?

Sepertinya ... tidak. Entahlah.

Zelia tahu, flu yang di deritanya ini bersumber dari kejadian saat dirinya menemani mami Widi ke pasar waktu itu. Wanita berusia 43 tahun itu terkejut menemukan Zelia di balkon sewaktu Zelia tengah menyiram Tika dan Tini pada sore hari. Dan dari situ, terbesitlah ide untuk mengajak Zelia berbelanja bersamanya. Sambil menenteng keranjang belanjaan, mami Widi tersenyum lebar begitu Zelia membukakan pintu kala itu. Kebetulan hari itu mami Widi sedang tak ada shift, jadi ia berencana membuat rendang sebagai santapan malam untuk Alan.

Dengan menggunakan celana jeans serta T-shirt abu-abu dipadukan dengan jaket biru pemberian Davin, Zelia memenuhi ajakan mami Widi. Sebenarnya cuaca sangat cerah sore itu, kedua wanita berbeda generasi itu pergi dengan menggunakan taksi online. Tapi entah mengapa, awan kelabu menyerbu langit Jakarta sore itu sewaktu Zelia dan mami Widi menunggu taksi untuk pulang selepas belanja.

Derasnya hujan langsung menyapu kesibukan kota, membuat beberapa orang yang tidak sempat berteduh harus merelakan tubuh mereka tersiram hujan, begitu juga dengan mami Widi dan Zelia. Rencana untuk masak bareng pun harus tertunda karena semua barang yang mereka beli basah kuyup. Zelia harus puas dengan rasa meriang di tubuhnya. Beberapa kali ia ditawari mami Widi untuk menginap di unitnya saja. Tapi Zelia memilih menolaknya namun ia tidak menolak setiap bantuan mami Widi berupa kiriman obat serta makanan melalui Alan.

"Hacim ...!" Zelia kembali bersin untuk yang ke sekian kalinya.

Ruang tamu minimalis itu sudah di penuhi dengan tisu yang berserakan dimana-mana. Belum lagi tubuh Zelia yang semakin ke sini semakin memburuk. Demam ikut serta menyerang dirinya, membuat kepalanya benar-benar berat.

"Ya Tuhan, kepala gue mau pecah rasanya," gerutunya dengan satu tangan yang menekan-nekan sudut keningnya.

Indra pengecap Zelia juga ikut terkena masalah, ia bahkan tak bisa merasakan apa pun saat memasukan makanan. Beberapa kali Zelia berusaha menolak makanan yang di bawa Alan, karena dia juga tak memakannya hingga habis. Tapi tetap saja anak dan ibu itu bersikukuh memberikan Zelia makanan. Sebenarnya melihat kondisi Zelia yang semakin memburuk, membuat mami Widi dan Alan hendak membawa Zelia ke rumah sakit.

AETERNA  | Selesai✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang