Epilog

145 4 0
                                    

||AETERNA||

Napas Zelia terengah cepat, hidungnya meraup oksigen dengan rakus. Meski demikian bola matanya masih memandang takjub panorama alam di hadapannya. Bibirnya melengkung lebar. Pemandangan keindahan di sekitar pegunungan Merbabu membentang di depan matanya. Seketika api semangat dalam dada kembali berkobar meski letih adalah kata yang sering kali ia ucapkan ketika memulai pendakian ini. Maklum, Zelia adalah pemula. Baru melewati dua pos saja, Zelia sudah hampir menyerah sangking lelahnya.

"Capek? Padahal menurut gue Merbabu rutenya gak terlalu berat loh," ucap Gema seraya membukakan penutup botol ditangannya dan menyodorkannya ke Zelia. Gadis itu mencibikan bibirnya namun tak urung menerima botol minuman itu, ia menegaknya hingga setengah.

"Bang Gema 'kan udah ahli, gue yang masih pemula mah apa atuh." Gema tertawa sambil mengambil duduk di sebelah Zelia. "Kenapa berhenti lagi? Katanya bentar lagi kita nyampe puncak."

"Pacarnya Iwan, kakinya keselo tuh. Kesel banget gue lihat yang gituan, udah tahu ceweknya manjanya minta ampun, pake dibawa segala. Bikin repot aja." Gema mendengus, matanya melirik sebal kerumunan pendaki yang tengah membantu Iwan menenangkan pacarnya yang terus merengek.

Zelia tertawa pelan. "Biarin aja sih, bang. Kita bisa gunain waktu buat istirahat bentar."

"Istirahat sih istirahat, Zel. Tapi kita harus sampai puncak tepat waktu 'kan, supaya bisa lihat sunrise. Itu klimaksnya waktu naik gunung Zel, puas waktu lihat pemandangan diatas," gerutu Gema, ia melempar batu kerikil di depannya. "Oh iya, turun dari sini lo musti traktir gue nih, gue udah ajak lo naik gunung loh, lo juga kayaknya seneng banget."

Bibir Zelia mencibik. "Nggak ikhlas. Padahal bang Gema sendiri loh yang janji ngajak gue naik gunung, malah minta traktir."

Gema menyengir memperlihatkan baris putih dalam mulutnya. "Canda doang."

Zelia tersenyum, dia tahu Gema tak serius dengan permintaan itu. Keduanya terdiam sesaat memandang kagum pada hamparan bunga edelweis yang tersebar di sepanjang jalur pendakian. Bunga-bunga keabadaian tersebut bergoyang mengikuti angin dingin pagi itu, meski sedikit tertutup kabut embun dan gelap.

"Gue pengen petik bunga itu deh, bang."

Sontak Gema menatap Zelia dengan mata terbelalak. "Lo mau dipidana?"

Zelia menyengir lebar. "Canda doang." Gema mendengus.

Zelia sudah tahu sebelum mendaki gunung ini, bunga edelweis sangat amat dilarang untuk dipetik. Gema bahkan sudah mewanti-wanti dirinya dengan mengirimkan artikel mengenai hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat menaiki gunung.

"Bukannya cuma masuk penjara, lo juga bakal didenda 50 juta. Eh tapi bagi anaknya seorang Adrian miliarder, duit segitu mungkin dikit ya."

"Dih, yang kaya bokap gue kali bang, bukan gue."

"Iya iyaa, anaknya orang kaya." Gema tertawa pelan mendapati raut tak terima di wajah Zelia. "Gue sampai sekarang masih penasaran loh, kenapa nih bunga di lambangkan sebagai keabadian. Sampai banyak orang bela-belain daki gunung cuma buat lihat bunga yang menurut gue masih bagusan mawar kemana-mana. Gue juga gak habis pikir sama mereka yang bawa pasangannya naik gunung buat lihat bunga ini, katanya biar hubungan mereka terus abadi. Prettt. Basi banget." Gema berlagak seolah tengah muntah. Zelia tertawa pelan.

"Anaphalis Javanica atau bunga Sanduro. Bunga ini umumnya tumbuh mencapai ketinggian 4 meter, dijuluki bunga keabadian karena bunga edelweis punya waktu mekar yang lama banget, sampai 10 tahun lamanya, Bang. Hormon etilen yang ada di bunga ini bisa mencegah kerontokan kelopak bunga dalam waktu yang lama. Selain itu bunga edelweis bisa tumbuh di tanah yang tandus loh, Bang."

AETERNA  | Selesai✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang