—Yang vote+komen disayang Doyoung!—
•••
Berhadapan dengan laptop, silabus, dan berkas-berkas anak didik adalah makanan gue sehari-hari selama menjadi guru relawan di sekolah ini. Awalnya sulit, membagi waktu antara kehidupan gue sebagai pengajar, mahasiswa, dan pacar. Namun, kelamaan gue bisa menjadi terbiasa. Menjalankan beberapa kewajiban dalam satu waktu mungkin sulit bagi beberapa orang, termasuk gue. Apalagi pengalaman baru ini, di mana gue harus beradaptasi dengan sistem sekolah, anak-anak, lingkungan sosial yang lebih tua di atas gue.
Gak jarang gue mendapatkan ajakan untuk berkenalan dengan seseorang di luar hubungan profesional, seperti Bu Ratna, wali kelas murid yang gue ajar, hendak mengenalkan anaknya kepada gue dengan maksud lebih. Namun, gue menolak dan mengatakan bahwa sedang gak sendiri. Awalnya memaksa, tapi akhirnya Bu Ratna mengerti. Gue selalu menjaga Naya, meskipun dia gak ada di sekitar gue.
Hari ini adalah hari terakhir gue mengabdi sebagai guru relawan. Gue teringat bagaimana reaksi anak-anak yang seolah gak mau ditinggal. Padahal, kami baru berkenalan enam bulan lalu dan sekarang kami harus berpisah. Terlebih reaksi Dika, merengek sambil memeluk kaki gue dan berakhir semua saling memeluk badan gue. Gue pun memberi pengertian kepada mereka semua dan berjanji akan datang kembali untuk menyapa mereka. Dika yang paling kencang menangis pun akhirnya mulai mereda. Ia mengangguk sambil mengusap jejak air mata di pipinya.
Sebenarnya gue bukan satu-satunya guru relawan di sini, ada beberapa teman lain yang berasal dari kampus yang berbeda. Dan yang paling akrab dengan gue adalah Kun.
"Udah dipanggil ke ruang kepsek, Doy?"
"Udah barusan. Kita udah upacara pelepasan juga kan senin lalu?"
Kun mengangguk lalu duduk di kursi di sebelah gue. "Capek, tapi seru. Habis ini balik ke kampus. Lo kalau ada info relawan lagi kabarin gue, nanti gue juga kasih info kalau ada." Gue mengacungkan jempol tanda setuju.
"Pacar lo gak jemput? Gue sering dengar lo punya pacar, tapi gak pernah liat."
"Ada. Masih magang, pulangnya sore banget masa jemput gue."
"Ooh, semester berapa kok sudah magang?"
"Adek kelas gue. Belum lulus, ya magang buat sertifikat profesi. Gue dulu juga gitu."
"Dih, dasar om-om!" Kun melempar gue dengan gulungan kertas.
"Lo tuh om-om! Pengabdi kampus."
"Sialan. Udah lah, nanya-nanya nanti takut gue rebut pacar lo." Kun beranjak dari duduknya, menepuk pundak gue lalu pergi ke luar ruangan ini.
"Ekstra banget gue jagain lo, Nay."
Gue melirik ke arah jam yang tergantung di dinding. Masih ada waktu dua jam sebelum Naya pulang. Gue memutuskan untuk pergi ke rumah Naya, sudah lama rasanya gue gak mengobrol dengan Bunda. Terakhir gue ke rumahnya saat kami sedang lagi renggang dan gue gak terlalu banyak ngobrol dengan Bunda.
Sesampainya di rumah Naya, gue langsung disambut dengan Ayah yang sedang duduk santai di teras. Beliau tersenyum dan menanggil gue untuk duduk di sebelahnya. Gue pun duduk di sebelahnya gak lupa memberikan makanan yang sempat gue beli di jalan tadi
"Wah, makasih makasih. Nayanya belum pulang, Nak. Masih dua jam lagi."
"Iya, makanya mampir dulu ke sini, Yah. Doy habis pulang kerja, mau jemput Naya tapi masih lama."
Ayah mengangguk, "Jangan gugup, Ayah gak makan orang." Gue tertawa kecil.
"Bunda juga lagi arisan, Haruto lagi tidur siang. Jadi kamu temenin Ayah ngobrol aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
SENIOR || Doyoung
Fanfic[Revisi setelah selesai] "Dek, cinta itu aneh. Ibarat intangible assets yang gak bisa diamortasi." "Maksudnya, Kak?" "Gak bisa disusutkan dan gak bisa berkurang karena kerugian." "Kak, Naya gak suka ya kalau mau baper tapi harus mikir dulu!" Highest...