"Kaki gue sakit, Nay. Masih jauh gak sih? Mana panas banget! Sunscreen gue keburu luntur, gak bisa re-apply lagi kalau begini kondisinya! Aduh, Nay! Gimana dong?"
Gue memutar bola mata jengah. Entah ini keluhan Somi ke berapa kalinya. Ahra sama Lami yang paling kalem sekarang mulai ikut jengah sama keluhan Somi. Jangan tanya Rena dan Sihyun ke mana, mereka sibuk dengan acara nge-vlog-nya.
"Namanya juga pawai, Som. Gak ada yang dingin. Tapi kayaknya bentar lagi sampai kok. Habis ini kita bakal naik tanjakan itu, jalan lurus, belok kiri, ketemu masjid, terus lagi nanti ketemu perempatan belok kiri, sampai deh!"
"Sebentar matamu! Kita nunggu di stadion ada kali dua jam lebih, Nay. Ini satu jam baru setengah jalan." Somi menghela napas sambil mengipas wajahnya dengan tangannya.
"Pura-pura pingsan aja lo sana! Itu mumpung sebelahan sama regu kesehatan," celetuk Ahra gemas. Somi menggeleng.
Gue akui memang cuaca hari ini lebih terik dibanding biasanya. Dari pagi kami sudah siap-siap lebih awal, memastikan persiapan untuk kelas kami sudah lengkap. Bahkan kami suda menyusun barisan lebih awal di depan stadion agar tidak kesusahan nantinya. Nyatanya ya tetap saja menggunakan waktu Indonesia bagian ngaret alias kami harus nunggu semuanya. Garis bawahi, semua, dan itu memakan waktu hampir dua jam. Cuaca panas ditambah kami memakai jas sesuai jurusan. Gue cuma bisa berharap muka gue gak belang walaupun itu gak mungkin. Mana besok gue masih harus masuk magang.
"Kok gue gak liat Kak Doyoung ya?"
Lami menoleh, "Loh Kak Doy ikut juga? Bukannya dia sudah lulus?" Lami menatap gue bingung.
Gue mengangguk, "Iya, tapi kemarin dia bilang tetap ikut buat ngawasin yang baru. Kan dia masih aktif di organisasinya itu walaupun sudah lulus. Kayaknya gak ikutan jalan deh."
Lami mengangguk paham dan kembali meneriakkan yel-yel kelas. Gue heran, Lami itu mungil tapi dia yang paling semangat dan gak bisa diam daritadi. Bahkan dia gak ada minum sama sekali. Gue yang baru sekali jalan aja sudah dehidrasi. Makanya gue gak terlalu teriak yel-yel di sini, tunggu dekat garis finish baru gue semangat lagi. Save energy for the last.
Gue teringat beberapa hari yang lalu pas Kak Doyoung mampir tiba-tiba ke rumah. Gue agak bego sih, bisa-bisanya gue pikir omomgan dia di telepon itu cuma mimpi dan dia yang ada di depan kamar gue itu juga cuma halusinasi gue. Dan bisa-bisanya gue langsung tidur dan menganggap itu mimpi padahal nyatanya Kak Doyoung nungguin gue di ruang tamu hampir satu jam. Sudah nungguin lama, gue pukul pakai sapu lagi. Bego!
Kalau kalian pikir Kak Doyoung bakal ngelakuin hal romantis itu jawabannya gak mungkin. Dia malah nyuruh gue ngambil buku akuntansi untuk belajar. Dia yang sibuk dengan data nilai dan materi anak didiknya dan gue yang duduk di hadapannya sambil menatap malas nominal uang ghaib ini. Berapa kali gue bilang kalau gue lagi bebas tugas, tapi justru semakin disuruh untuk belajar lebih dulu.
Habis itu, gak lama Haruto pulang bawa makanan. Sialnya bukan buat gue. Habis nyimpan makanannya ke kamar dia langsung ikut nimbrung bareng Kak Doyoung dan ngajakkin dia main playstation. Alhasil apa? Gue ditinggal sendiri di meja ruang tamu dan gak dikasih makan sama adik kurang ajar itu.
Namun, gak lama Kak Doyoung balik lagi.
"Dek." Gue menoleh, "Iya?"
"Tinggal bentar gak masalah ya? Itu dikerjain dulu sampai neraca saldo aja. Nanti kirim ke Kakak biar diperiksa. Oke?" Gue menghela napas dan mengangguk. Gue pikir kenapa. Tetap aja Kak Doy itu gak pekaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SENIOR || Doyoung
Fanfic[Revisi setelah selesai] "Dek, cinta itu aneh. Ibarat intangible assets yang gak bisa diamortasi." "Maksudnya, Kak?" "Gak bisa disusutkan dan gak bisa berkurang karena kerugian." "Kak, Naya gak suka ya kalau mau baper tapi harus mikir dulu!" Highest...