🍁 Ragu

2.2K 348 32
                                    

"Je, lepas." ucap gue tenang. Berusaha menahan segala emosi. Beruntung Sejeong langsung melepas pelukannya meskipun tatapannya menatap gue gak rela.

"Jangan gitu."

Sejeong natap gue, sedangkan gue berusaha untuk gak membalas tatapannya. Gue takut gue ragu sama diri sendiri. Gue takut jatuh untuk kedua kalinya.

"Kenapa? Kenapa gue gak boleh peluk lo lagi? Bukannya lo janji buat selalu ada sama gue? Mana? Gue sudah kembali, Doy!"

Gue menghela napas. Sejeong tetap sejeong. Selalu mengingat tiap kalimat yang gue ucapkan dan menagih tiap janji manis yang gue berikan. Salah gue, iya gue salah. Tapi gue gak pernah tau kalau kami memang berakhir seperti ini dan janji gue harus hilang ditelan waktu.

"Kita masih di area sekolah. Gue gak mau jadi omongan staff guru di sini. Gue baru mulai mendedikasikan diri di sini dan jangan sampai mereka mengira gue gak bisa menjadi contoh untuk murid-muríd lain karena gak bisa membedakan mana urusan pribadi dan mana urusan yang bisa diterima di sekolah."

Sejeong menunduk mendengar ucapan gue. Gue mulai berpikir, apa ucapan gue terlalu kasar? Tangan gue mengepal kuat ketika gue masih saja memikirkan perasaan Sejeong. Ayolah, Doyoung! Ini kali pertama gue bertemu dengan Sejeong setelah memantapkan hati. Kenapa harus ragu?

"O-oke. Maaf kalau begitu. Kita pindah aja gimana? Kebetulan tadi itu adik aku, dan sekarang..." Sejeong melihat jam tangan putih yang melingkar di pergelangan tangan kanannya.

"Dia masih memakainya?"

"Jam makan siang. Ayo kita makan bareng. Masih banyak yang harus dibicarakan." Sejeong tersenyum di akhir kalimatnya. Dari tatapannya menunjukkan bahwa dia sangat berharap.

"Mau?" tanyanya memastikab lagi sambil tersenyum. Ah, sialan. Bagaimana ini? Gue melihat jam tangan gue. Gue sudah pulang sejak tadi dan kalau gue mengiyakan ajakan Sejeong juga mungkin gak akan masalah.

"Boleh."

•••

"Makasih lo mau ikut makan siang. Sorry tadi lo nungguin adik gue gara-gara gue telat jemput. Biasa menuju jam makan siang jalanan agak ramai. Apalagi tadi gue keluar kelasnya juga lama, jadi keburu siang. Akhirnya telat deh."

"Huh! Untung Pak Doyoung baik." sahut Dika yang sedang memakan ayam gorengnya. Gue tersenyum tipis mendengarnya.

"Gak masalah. Dika tadi sendirian jadi ya kasihan juga."

Sejeong tertawa mendengar ucapan gue yang sebenarnya gak ada lucunya sama sekali. Gue menatap Sejeong yang masih saja tertawa dan kini berdua dengan Dika. Entah apa yang membuat mereka tertawa tadi, gue gak terlalu mendengarnya. Sejeong masih sama, gak ada hal spesifik yang berubah setelah kepindahannya dulu.

"Lo kuliah di mana? Kenapa lo jadi guru? Magang kah?" Gue menggeleng lalu mengalihkan pandangan gue ke Sejeong ketika dia bertanya ke gue. Bodoh.

"Hah?"

Sejeong tersenyum, "Lo sekarang kuliah di mana?" tanyanya lagi.

"Oh, di kampus dekat sini. Lo pasti tau lah. Lagian kampus di daerah ini cuma satu." Sejeong mengangguk mendengar jawaban gue.

"Terus kenapa jadi guru?" Sejeong menopang dagunya menatap gue antusias.

Gue berdeham, "Mau mencoba hal baru. Waktu luang gue masih lumayan. Di kampus juga ada kelas malam. Jadi gue ajukan aja buat jadi guru, kebetulan sekolahnya Dika butuh guru honorer."

SENIOR || DoyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang