Selama beberapa bulan gue magang di sini, gue benar-benar ngerasain kalau ternyata teori-teori pembelajaran itu gak terlalu berpengaruh saat kerja. Berpengaruh sih, gimana mau bekerja kalau gak punya dasar sama sekali? Yang ada malah kesusahan. Tapi, memang benar adanya, teori tanpa praktek itu hasilnya nihil. Gue merasa lebih senang terjun langsung dibandingkan harus menguasai teori yang belum tentu gua pakai saat di lapangan.
Selama di sini, gue banyak banget dapat hal-hal yang gak gue dapatkan di sekolah. Mulai dari etika mengangkat telepon, distribusi surat, input data nasabah yang memang gak gue dapatkan secara detail di sekolah. Terkadang gue juga sharing ke pembina gue yang untungnya sangat friendly mengenai akuntansi di bank. Pak Sehun juga ngajak gue melihat bentuk-bentuk laporan keuangan yang akan dilaporkan. Hanya melihat, bukan membuat. Karena laporan keuangan itu merupakan hal yang sangat rahasia.
Setiap pagi setelah berdoa bersama, masing-masing bagian akan membacakan total transaksi yang mereka layani. Awalnya gue kesusahan mengerti karena menggunakan istilah syariah, namun kelamaan gue bisa mengerti dengan sendirinya. Kadang gue excited sendiri mendengar laporan tiap bagian.
"Somi mana sih?" gumam gue sambil melirik jam tangan. Lima menit lagi kami harus berkumpul di lobby untuk berdoa bersama sebelum operasi bank di buka.
"Huh! Assalamualaikum!" salam Somi sambil terengah di depan pintu ruang rapat.
"Heh! Waalaikumsalam! Eh sumpah, Som! Buruan! Pak manajer sudah di ruangannya lo baru datang. Ayo cepat!" ucap gue sambil bersiap untuk keluar ruangan.
"Bentar dulu, Nay. Napas dulu gue!"
"Lo habis kemana emangnya? Tumben lo telat, biasa lo yang bagian buka gerbang bank."
"Gue telat bangun anjir. Gue begadang semalam!"
Gue berdecih, "Gaya lo begadang. Biasa jam sembilan sudah ngorok lo. Ayo lah cepat! Nanti ditegur Pak Chanyeol, takut gue. Gue gak mau lagi ya ditegur karena kita telat kumpul di lobby padahal kita sudah empat bulan di sini." ucap gue lalu beranjak keluar ruangan meninggalkan Somi yang berteriak memanggil nama gue. Kebiasaan Somi yang suka membuat gue malu.
"Ish! Disuruh tungguin juga!"
"Lo lamban!"
"Mending gue, cuma lambat gerak. Dari pada lo, otaknya lambat."
"Kurang ajar!" balas gue lalu memukul lengannya keras.
Somi meringis, "Ini kekerasan dalam pertemanan ya! Gue heran kenapa Lisa betah temenan sama lo!" ucap Somi membuat gue menatapnya sinis.
"Sejak kapan kita temenan?"
"Heh! Ini sempat-sempatnya berantem di tangga. Ayo cepat, sebentar lagi bank mau buka."
Reflek gue dan Somi memberi jarak agar Pak manajer, Pak Chanyeol, dapat berjalan mendahului kami. Pak Chanyeol itu asik sebenarnya, tapi kalau di lingkungan kerja sifatnya langsung berubah seratus delapan puluh derajat menjadi dingin dan kaku.
"Aduh mampus kita, Nay."
"Salah lo!"
Somi menghela napas, "Sabar gue nanggapin bocil. Bocil tapi punya pacar, capek gue."
•••
"Jadi gimana sekarang sama Kak Doy? Baik-baik aja kan kalian?" tanya Somi membuka pembicaraan.
Gue mengangguk. Hubungan kami terlalu datar. Entah ini sebuah hal yang baik atau malah sebuah masalah.
Somi menghela napas lalu kembali menginput data di laptop, "Kalian berdua flat banget sih. Coba liat Lisa sama Jeno. Kadang baik, kadang berantem. Kadang akur, kadang musuhan. Kadang jadi pacar, kadang jadi emak sama anak. Kayak gitu dong, gak lempeng kayak kanebo kering."
KAMU SEDANG MEMBACA
SENIOR || Doyoung
Fiksi Penggemar[Revisi setelah selesai] "Dek, cinta itu aneh. Ibarat intangible assets yang gak bisa diamortasi." "Maksudnya, Kak?" "Gak bisa disusutkan dan gak bisa berkurang karena kerugian." "Kak, Naya gak suka ya kalau mau baper tapi harus mikir dulu!" Highest...