🍁 Hilmira

1.5K 269 40
                                    

"Halo, Doy! Jemput bisa gak? Lagi gak ada driver sekitar sini, gue juga gak bisa bawa kendaraan sendiri ke sana, resiko banget."

Gue menghela napas, "Oke. Tunggu di sana, lima belas menit gue nyampe. Assalamualaikum."

Setelah mematikan sambungan secara sepihak, gue memakai helm yang tadi gue pegang dan mulai menyalakan motor. Sekarang rumah Sejeong menjadi tujuan pertama gue sebelum ke titik pos makanan sekolah gue dulu.

Perjalanan ke rumah Sejeong gak memakan waktu banyak. Rumah kami terbilang dekat. Namun, lebih dekat dengan rumah Naya. Ah, anak satu itu ikut pawai hari ini. Seminggu dia mempersiapkannya bersama teman-teman kelasnya. Bahkan semalam dia sempat bertanya gue akan ikut atau gak.

Gue sampai lebih cepat. Sejeong yang tadinya berdiri bersandar di pagar langsung tegak dan berjalan menghampiri gue yang baru menurunkan standar motor.

"Kok cepat, Doy. Bilang lima belas menit? Ini baru sepuluh, eh gak nyampe malah," ucapnya sambil mengaitkan kaitan helm.

"Ya karena masih pagi banget. Gue juga gak biasa terlambat kan?"

"Iya-iya, ketua organisasi mana pernah ngaret. Eh bentar, nyangkut gak sih? Kok gak bisa dari tadi ini helm gue?"

Gue memperhatikan Sejeong yang mulai kesulitan dengan pengait helm-nya. Tangan gue reflek mendekat dan sedikit menarik Sejeong agak mendekat. Gak sampai tiga detik, pengait helm itu terkait sempurna.

"Makanya, yang bagian merah ini ditekan dulu."

Sejeong tertawa, "Hehehe, sorry. Udah ayo jalan."

Gue dan Sejeong kembali berteman baik. Gue gak mau cuma karena perasaan bisa merusak hubungan pertemanan kami yang dulunya baik menjadi rusak. Kami lebih dulu berteman sebelum akhirnya menjadi pasangan, walaupun itu belum terjadi, tapi lebih baik berakhir seperti teman lagi. Lagian, walaupun gue menolak, perasaan gak semudah itu melupakan.

Selama di perjalanan menuju pos, Sejeong sesekali ngajak gue ngobrol. Gue balas seadanya karena gue bukan tipe orang yang suka ngobrol di jalan. Hening lebih baik meskipun terkesan canggung.

Karena masih pagi, kami lebih mudah mencari tempat untuk memarkirkan motor. Garis start pawai dengan pos itu berbeda. Rata-rata pos makanan atau minuman ini berada di tengah rute atau mendekati akhir. Gue milih untuk stay di rute tengah agar nanti adik-adik kelas gue gak keburu dehidrasi di jalan.

Gue sudah tau kalau kegiatan seperti ini tanpa ada ngaret itu seperti ada yang kurang. Beruntung gue dan teman-teman penjaga pos lainnya bisa lebih santai dan boleh menepi jika gak sanggup dengan teriknya sinar matahari. Panas matahari dari atas dan pantulan panas dari aspal merupakan perpaduan yang sangat pas untuk membakar kulit. Gue kepikiran Naya, apalagi kelasnya memakai dress code kemeja produktif yang gue tau itu tebal dan panas. Gue cuma berharap Naya gak kehabisan minum dan gak dehidrasi di jalan. Semoga.

"Doy, duduk di situ ayo. Pegel gue berdiri mulu dari tadi. Gue tadi tanya kalai urutan sekolah kita masih agak jauh, masih bisa buat duduk sebentar. Ayo! Lo juga dari tadi sibuk bantuin tim yang lain, gue yang capek lihatnya."

Belum sempat gue mengiyakan, Sejeong langsung menarik lengan gue ke arah emperan toko gak jauh dari kami berdiri tadi. Iya sih, lama-lama gue merasa kaki gue mulai kesemutan karena kelamaan berdiri.

"Duduk deketan sini!" Sejeong nepuk-nepuk tempat di sebelahnya. Gue mendekat dan duduk di sebelahnya, tidak terlalu mepet seperti yang tadi dia tepuk. Gue meluruskan kak sambil sesekali gue pijat. Akhirnya gue bisa duduk juga.

SENIOR || DoyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang