Part 10

315 58 154
                                    

Pagi cerah, secerah sinar mentari yang sedang menyinari lautan siswa siswi SMA Angkasa di tengah lapangan sekolah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi cerah, secerah sinar mentari yang sedang menyinari lautan siswa siswi SMA Angkasa di tengah lapangan sekolah. Beberapa siswi kepanasan dan sisanya lagi mengeluh kecapekan. Maklum Pak Kepala Sekolah masih berkoar-koar di atas panggung Pembina Upacara. Betah dan terlihat belum ingin mengakhirinya dengan cepat.

Namun, itu tak berlaku bagi Zea. Baru kali ini, upacara terasa berbeda. Terik mentari sama sekali tak mengganggunya. Suara ceramah terdengar merdu seperti lagu cinta. Aneh.

Ia berdiri di barisan siswi dan bersebelahan langsung dengan barisan siswa. Sesekali ekor matanya melirik ke samping kanannya.
Darren, pemuda itu berdiri tegak dengan pandangan lurus ke depan. Entah mengamati Pak Kepala Sekolah atau seseorang di depan sana.

"Konsentrasi banget. Emang lo paham sama ceramah Pak Kepala Sekolah?" tanya Zea dengan sedikit berbisik pada Darren.

Darren menoleh sekilas pada Zea dan mengabaikannya lagi. Zea mengerucutkan bibirnya karena tak mendapat atensi dari lawan bicaranya.

"Gue nggak paham apa dengan ceramah beliau. Dari tadi gue hanya berdoa dalam hati, semoga mic-nya mati dan ceramahnya berakhir."

Zea tersenyum mendengar jawaban Darren.

"Astaga, nih anak cute juga pikirannya. Gue kira dari tadi konsetrasi dan menyerap semua makna dan teka-teki Pak Kepala Sekolah," batin Zea tertawa.

Entah mengapa desir aneh selalu menerpanya setiap mendengar suara Darren dan segala lawakannya.

"Lo paham nggak sama ceramah Beliau?"

Darren balik bertanya dengan berbisik. Ekor matanya menangkap sudut bibir Zea yang terangkat ke atas membentuk lengkungan. Cantik, pikirnya.
Zea menoleh dan tersenyum. Gelengan kepalanya mampu mengundang senyum Darren.

"Gue jadi tukang nyimak aja, dengan cara yang aestetik dan elegan."

Darren tersenyum mendengar jawaban Zea. Keduanya tidak menyadari, percakapan mereka membuat salah satu siswa cemburu. Apalagi saat keduanya saling melempar senyum lengkung.

****

"Panas."

Keluhan itu bukan hanya meluncur dari bibir Vira. Tetapi, dari beberapa teman yang lain juga. Menempatkan bokongnya di kursi dan mengambil buku tulis. Mengalih fungsikan buku itu menjadi kipas angin alami.

"Gue diam-diam juga kepanasan," celetuk Dhira dengan ketusnya.

Vira merotasi netranya ke arah Dhira. "Maksud, lo? Kita kan udah di dalam kelas, masa iya masih kepanasan?" tanya Vira tak mengerti.

The Journey Of Zea ( COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang