Kakinya berhenti melangkah saat ia keluar dari gereja. Kepala menengadah dan hati pun berharap, apakah ia meminta salju turun dengan lebat?
Sialnya, jika Tuhan mengabulkan doanya, ia tak bawa payung. Memilih berjalan kaki ke gereja seperti tahun-tahun sebelumnya adalah hal yang buruk. Jika biasanya ia ditemani Joon-Hee, hari ini ia pergi sendiri. Seharusnya ia menerima saran Rara agar berangkat menggunakan sepeda motor listrik atau mobil. Memang Desember bukan puncaknya salju turun dengan lebat, tapi jika nekad berjalan di bawah guyuran salju, ia harus siap menerima suhu tubuh yang tinggi. Ia tidak mau hal itu terjadi.
Kaki melangkah menuruni satu per satu anak tangga gereja. Mi-Cha memutuskan meninggalkan tempat itu lebih awal begitu sembahyang selesai. Ia tidak mau bertemu orang-orang dan menampakkan wajah ceria yang palsu. Maka ia memilih aman dan pergi dengan cepat dari sana. Meninggalkan Rara di dalam sana yang masih bercengkrama dengan Aelsy.
Beberapa hari belakangan—saat Joon-Hee tidak ada di sampingnya—ia merasa amat sunyi. Segala tempat yang dilalui memiliki kenangan tersendiri baginya dan tunangan kecilnya itu. Walaupun ini bukan kali pertama Joon-Hee ke Chicago meninggalkannya, tapi rasanya ini sangat berbeda. Mungkin karena ada hubungan khusus yang menyelip di antara mereka.
Mi-Cha berdiri di depan perkarangan rumah Joon-Hee. Di sana terlihat garasi yang terbuka dan terpampang sebuah mobil yang sering mengantar-jemputnya. Mobil itu kecil dan membuat ia sesak berada di dalamnya. Namun ia selalu merasa baik-baik saja demi kenyamanan bocah tengil kesayangannya. Pria itu sangat mengimpikan mobil tersebut. Ia masih sangat ingat bagaimana tampang bahagia Joon-Hee saat diberi hadiah ulang tahun kedua puluhnya. Mobil sport yang diimpikannya berdiri kokoh di halaman rumah yang luas. Mengingat itu, senyum Mi-Cha terbit. Namun seketika hilang karena ia tersiksa dalam kerinduan.
Mi-Cha melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 11 siang. Itu tandanya Chicago belum menyambut hari natal dan waktu masih pukul sembilan malam di tanggal 24 Desember. Mi-Cha pun memilih merogoh ponselnya dan mengidupkan kembali karena sebelum masuk gereja tadi, ia matikan. Tidak ada pesan masuk dari Joon-Hee membuat ia memutuskan untuk meneleponnya. Sayangnya, tidak ada jawaban. Maka ia mengirim pesan yang berisi:
Hwang Mi-Cha : Kau sedang sibuk, Joon-Hee~ya? Jika kau sudah tidak sibuk,
hubungi aku. Aku sangat merindukanmu.
Pesan singkat itu memberi gambar centang dua di sudutnya pertanda masuk dengan selamat. Namun tidak ada balasan ataupun hanya sekadar dilihat. Maka Mi-Cha memasukkan kembali ponsel ke sakunya dan melanjutkan perjalanannya.
Ia sadar, selama di Chicago Joon-Hee sangat jarang menghubunginya. Selain waktu yang cukup jauh berbeda, pun karena kemarin-kemarin Mi-Cha amat sibuk. Namun kini ia sudah libur dan mengharapkan Joon-Hee mengisi waktu berliburnya walau memiliki jarak yang cukup jauh. Ia rasa, menghabiskan waktu dengan menelepon ide yang sangat bagus. Terlebih kini ada layanan WhatsApp yang membuat ia tidak perlu membayar pajak telepon yang begitu mahal untuk panggilan luar negeri.
Mi-Cha membuka pintu rumah dalam diam. Tidak ada Rara di rumah maka tidak perlu menyapa atau memberitahu bahwa ia sudah dirumah. Wanita itu pun memilih naik ke lantai dua dan masuk ke kamarnya. Membuka mantel dan menggantungnya, masuk ke kamar mandi hanya untuk membasuh wajah, lantas setelahnya ia berbaring. Pandangannya menghadap ke pelapon di atasnya.
Disadari akhir-akhir ini ia banyak pikiran. Mulai dari pekerjaan sampai dengan tantangan Soma yang diterimanya. Bukan hanya itu, fakta bahwa berat badannya tak kunjung turun membuat ia frustrasi. Ia tak tahu harus bagaimana lagi agar di awal Februari nanti ia sudah langsing dan cantik.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Not) Perfect [COMPLETED]
Fanfiction"Tidak-tidak. Jangan coba-coba melakukan itu, Nuna. Aku lebih senang jika kau seperti ini." "Tapi mereka bilang aku gendut dan jelek." Sering dikatakan gendut dan jelek membuat Hwang Mi-Cha insecure. Dan saat ia berada di posisi itu, hanya kasih say...