Harapan dan Mimpi

10 3 0
                                    


Makan malam romantis di restoran Italia yang ternyata tempat favorit Mi-Cha. Jika ia bosan dengan makanan Korea, pelariannya adalah makanan Italia. Dan kini ia tidak perlu takut gemuk karena lambungnya sudah dikontrol untuk menerima seberapa banyak makanan. Dan kini Mi-Cha lebih berani menggunakan pakaian yang berwarna cerah karena mempertegas tubuh langsingnya. Selamat tinggal warna gelap yang menyamar lemak-lemak di tubuhnya dulu.

Kaki Mi-Cha yang dulunya menggumpal kini menjadi jenjang. Dengan heels bertumit 5 cm ia berjalan dengan anggun dan percaya diri memasuki restoran tersebut. Katakanlah Mi-Cha berubah dengan gaya hidupnya. Namun ia bahagia akan hal itu karena tidak perlu minder dan menunduk lagi jika ada orang yang menatap remeh dirinya.

Langkahnya terhenti saat melihat Hanbin melambai ke arahnya. Meja yang berada dekat dengan jendela itu mengingatkannya saat rapat dengan Soma bulan Desember lalu. Saat itu salju baru saja turun dan sekarang puncaknya akan berakhir. Begitu mencapai meja tersebut, Hanbin dengan santainya mengecup pipi kiri Mi-Cha yang terlihat kaku. Namun tak ingin ambil pusing dengan tindakan pria tersebut, Mi-Cha mencoba santai dengan membuka mantel putih saljunya dan menyematkannya di senderan kursi. Terlihatlah tubuh langsingnya yang dibalut dress kuning dengan sentuhan renda berwarna putih. Sangat cocok di tubuh dan kulitnya yang bercahaya saat ini.

"Kau terlihat cantik malam ini, Mi-Cha~ya!" puji Hanbin yang berhasil menciptakan semburat merah di pipi Mi-Cha yang dibaluri blush on tipis.

Mi-Cha membungkuk sedikit. "Gumawo," ucapnya yang sebenarnya risih jika dipuji.

Baru saja Mi-Cha duduk di sana, pelayan datang dengan membawa dua gelas aperetivo dan buku menu. Keduanya menerima itu dan melihat isinya untuk menarik perhatian perut mereka.

"Kau ingin pesan apa, Mi-Cha~ya?" tanya Hanbin dengan melirik Mi-Cha yang fokus dengan buku menunya.

"Saya mau lasagna dan granite," ujar Mi-Cha yang melihat ke arah pelayan dan tersenyum saat mengembalikan buku menu tersebut.

"Berikan aku linguine alle vongole dan vanilla latte," sambung Hanbin yang juga menyerahkan buku menu.

Pelayan itu mengangguk setelah mencatat pesanan. "Mohon ditunggu dan silakan menikmati aperetivonya terlebih dahulu. Saya permisi," balas pelayan tersebut dan membungkuk lantas pergi dari sana.

Kini, tinggallah dua insan yang hendak makan malam romantis dengan canggung. Pasalnya, ia pertemuan pertama mereka di luar rumah sakit. Jika bertemu di gym waktu itu adalah hal yang tidak disengaja. Sedangkan saat ini, benar-benar disengaja dan terancang dengan baik oleh Hanbin.

Merasa tidak enak saling diam seperti ini dan seperti bak orang pengecut yang sudah mengajak seorang wanita makan malam tapi hanya diam saja, Hanbin memutuskan berdeham sebelum memulai percakapan. "Bagaimana kabarmu?" tanya Hanbin memecah keheningan.

Mi-Cha tersenyum dan mengangguk pelan. "Seperti yang kau lihat. Jika aku sedang tidak baik-baik saja, pastinya aku tidak ada di sini," jawab Mi-Cha dengan sedikit bergurau.

Mendengarnya, Hanbin terkekeh. "Apa tidak masalah aku mengajakmu makan malam?" tanya Hanbin sebelum memulai membicarakan apa yang membuat ia mengajak Mi-Cha makan malam. Mi-Cha menjawabnya dengan menggeleng. "Tunanganmu bagaimana?" tanya Hanbin dengan menekan kata tunangan.

Mi-Cha tersenyum kaku. "Aku sudah single," jawab Mi-Cha dengan senyum mirisnya.

"Aku turut prihatin," sahut Hanbin dengan wajah sedih tapi dalam hatinya ia bersyukur.

Jeda kembali menghampiri. Kali ini ada alasannya, yakni pelayan datang mengantar makanan. Hanbin tidak ingin percakapan di antara mereka didengar oleh orang yang tidak dikenal. Setelah pelayan pergi, Hanbin kembali berdeham agar tidak merasa canggung di jeda yang teciptakan.

(Not) Perfect [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang