06| Perpustakaan

142 26 4
                                    

Rasanya tidak adil, Bella terbebas dari bibir tetangga. Dia bisa bersikap bodo amat sekarang. Tapi aku tak bisa. Bagaimana tidak, anak-anak nakal terus menerorku. Berteriak dari luar pagar, “Kak Eggy duda!”

Bagaimana bisa anak sekecil itu tahu kalau aku duda? Pasti orang tua mereka yang mengajarkan. Aku tidak mengerti, kenapa mereka tega membuang waktu hanya demi aku.

Itu sangat merugikan, terkadang dadaku sesak ketika mengingatnya. Aku iri pada Bella, telinganya sudah tidak dapat mendengar ocehan para tetangga. Coba saja aku bisa pindah rumah seperti dia.

Hanya mimpi, Ayah saja selalu bilang “Jangan menutup diri, dekat dengan tetangga agar mereka sedikit baik.”

“Tidak bisa, Ayah saja setiap hari hanya di rumah.”

“Ayah, kan sibuk.”

“Pret, sibuk dari mana? Kamu saja yang sok sibuk,” sindir Ibu.

Ada yang bisa menebak? Iya, kami di meja makan dan tengah mengalami percakapan seperti biasanya. Selalu saja, Ibu mengejek pekerjaan Ayah. Beruntung ini bukan acara pertengkaran, hanya drama suami takut istri. Aku di sini hanya bisa mengulum senyum.

Oh ada lagi, Ibu menjadi lebih sering marah akhir-akhir ini. Ya, dia sibuk dengan pekerjaan rumah. Karena tidak ada Bella yang biasa membantu. Ditambah lagi, selama ini Bella selalu baik di mata Ibu. Ibu pasti merasa sangat kehilangan.

Aku dengar, Bella akan kembali belajar di sekolah umum. Kemungkinan juga denganku, benar-benar tidak sabar menantinya. Eh tapi, tiba-tiba saja aku mengingat sesuatu. Aku, aku malu bertemu orang-orang.

“Eggy, kamu tahu tidak?” kata Ayah sambil menuang air ke gelasnya.

Aku menelan minumanku lebih dulu, lalu bertanya, “Tahu apa?”

“Pak Ari, dia buka perpustakaan di dekat SD.”

Aku jelas terkejut, hampir memuntahkan air yang baru saja kutelan. Namun, dengan cepat menetralkan suasana. Aku menggeser piring yang masih penuh, sangat tertarik dengan perkataan Ayah. “Ayah serius?”

“Iya, SD dekat, kan? Jadi kita bisa pergi jalan kaki, malah bisa setiap hari ke sana.”

Pak Ari, siapa pun dia terima kasih banyak. Lama aku menunggu perasaan suka cita ini. Barangkali, hatiku sudah berdebu karena tidak pernah berbahagia. Tapi sekarang, ah ini berlebihan. Namun, memang seperti itu adanya.

Ibu menepuk meja dengan kedua telapak tangan. “Terus saja kamu racuni anak dengan buku, sampai dia tidak punya teman.”

Aku menatapnya aneh. "Ibu?"

“Ah, bukan apa, Eggy. Tidak salah kok, kalau kamu suka baca buku.”

Aku menoleh kepada Ayah. Dia bersikap tidak pernah terjadi apa pun. Dia berdiri, membawa piringnya ke tempat cucian. Sepanjang aktivitas yang Ayah lakukan, selalu kuperhatikan sampai dia melihat balik. “Kamu belum mau bersiap, Eggy?”

Aku pun tersadar, dan cepat-cepat menghabiskan makananku. Maaf Ibu, jika aku terlihat lebih sayang kepada Ayah. Bisa jadi, berbalik jika saja Ibu memperlakukan Ayah dengan baik. Seharusnya biarkan saja Ayah menafkahi sesuai pekerjaan yang dia suka. Ya toh, tidak semua kebahagiaan itu berasal dari uang.

NEBULA [15+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang