Rencananya, besok aku akan bangun pagi-pagi sekali. Pergi ke tempat seleksi yang berada di pusat kota provinsi.
Waktu berjalan begitu cepat. Namun, untunglah beberapa tips dari Kak Lina bisa membantu. Dia memberiku kisi-kisi materi yang sering keluar tiap tahunnya. Jadi aku cuman fokus di beberapa materi itu saja. Katanya, itu saja sudah cukup. Lagian kesulitanku hanya di Matematika. Untuk IPA, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Tinggal perbanyak latihan soal.
Benar-benar satu bulan yang luar biasa. Per hari menghabiskan 200 sampai 400 latihan soal. Sampai kesusahan sendiri mencari stok soal sebanyak itu dari mana. Lagi-lagi, selalu ada jalan menuju Roma. Luna rutin mengajakku berlatih soal di Telegram. Karena memang ada banyak soal di sana. Meskipun hanya sedikit yang menyediakan pembahasan.
Dan, mulai dua hari belakangan. Aku tidak memegang buku sama sekali. Hanya bersenang-senang. Walau tangan ini terasa gatal mau mengerjakan soal. Karena memang belum terlalu siap dengan Matematika. Tapi balik lagi. Tiga hari menjelang ujian seleksi lebih baik fokus menyiapkan mental. Jangan sampai blank saat di depan komputer.
👽❤️👽
Ibu mengendor pintu. Aku pun cepat-cepat keluar. Saat mengecek jam. Ternyata pukul 03.00. Masih sangat pagi. Hal itu tak mengurungkan untuk tetap ke kamar mandi meski udara dingin menusuk sampai ke tulang.
"Yang benar mandinya. Terus langsung ke meja makan," kata Ibu sembari meletakkan handuk ke pundakku.
Aku mengangguk, dan bergegas.
👽❤️👽
Selesai dengan mandi dan sarapan. Luna akhirnya tiba dengan tas kecil di pundaknya. Dia mengenakan seragam putih biru yang sangat rapi. Raut wajahnya juga terlihat cerah.
Aku memutar leher 90 derajat. Kemudian meraih tas yang sudah Ibu siapkan di atas meja tamu. Tidak perlu khawatir dengan barang bawaan. Karena untuk kartu ujian dan segala alat tulis sudah kusiapkan tadi malam.
"Eggy, kalau selesai tes nanti jangan bahas soal ya? Takut over thinking kalau ternyata jawabannya salah."
"Iya. Kerjakan, lalu lupakan," balasku seraya berjalan menuju pintu. Diikuti Ibu dan Ayah. Sedangkan Luna, dia yang memimpin di depan.
Setibanya di teras. Mobil keluarga Aldebaran sudah terparkir di halaman. Ada Kak Lina dan kakaknya Aldebaran di kursi depan.
"Eggy, kacamatamu ada, kan?"
Aku menoleh pada Ibu. Kemudian merogoh saku celananya. "Ada," kataku. Dan kulihat Luna sudah berjalan ke arah mobil. Aku pun lekas menyalami Ibu dan Ayah lalu menyusul Luna.
Di dalam mobil. Aku duduk di kursi yang sama dengan Luna. Tapi kami duduk dari ujung ke ujung untuk bisa dekat dengan jendela.
Kak Lina dan Kak Rigel kompak menoleh belakang. "Kita jalan," kata Kak Rigel sambil menginjak gas.
"Aldebaran katanya mau ikut kemarin?" tanya Luna. Dia terlihat merogoh tas kecilnya dan mengeluarkan earphone.
"Sengaja enggak diajak. Takut ngerepotin. Sekarang aja dia masih tidur," kata Kak Rigel. Tetap fokus menyetir.
Luna menaik-turunkan rahangnya tanda mengerti. Dengan earphone yang sudah terpasang di telinganya.
Aku memandang ke luar jendela. Perlahan terus menyaksikan deretan rumah yang kian bertambah. Membelah jalanan yang awalnya hanya dilewati kendaraan kami kini sudah satu dua yang terlihat melintas dari arah berlawanan.
"Mau dengar lagu favoritku, gak?" kata Luna yang tiba-tiba sudah duduk tepat di sampingku. Dia memasangkan salah satu earphone ke telingaku.
Namun, aku melepasnya. "Enggak deh."
Dia mengembuskan napas berat. Memasang kembali earphone-nya. Tanpa mau lagi menoleh ke arahku.
Sedikit menyesal karena menolaknya. Karena bagiku tidak akan ada masalah besar bila mendengar lagu yang sama dengan Luna. Tapi aku sudah janji dengan Ayah untuk menuruti semua perkataan Ibu. Iya, Ibu tidak mengizinkan jika aku memakai penutup telinga seperti itu. Sebab Ibu yang begitu paranoid beranggapan kalau earphone bisa merusak telinga.
Aku kembali menatap jalanan. Dan syukurlah hal itu cukup membuatku sedikit melupakan rasa bersalah terhadap Luna. Sialnya, beberapa kali kepalaku jatuh bangun menahan kantuk. Ternyata memerhatikan jalanan bisa juga menjadi obat tidur.
Aku menyakinkan diri. Beberapa kali mencubit lengan untuk tidak boleh dikalahkan rasa kantuk. Tidak mau jika bangun nanti dalam keadaan berantakan.
Bola mataku terbelalak. Seseorang baru saja menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku menelan ludah. Perlahan menoleh ke arah Luna. Gadis itu tertidur dalam keadaan earphone masih tersumpal di telinganya.
Aku menaikkan bahu. Sedikit demi sedikit menggeser badan agar semakin dekat dengannya. Sambil ditemani rasa khawatir. Takut membangunkan gadis cantik itu.
Kutatap mata terpejam miliknya. Kemudian bergelut dengan pikiran sendiri. Akhirnya, memutuskan untuk melepas earphone dari Luna dan memasangkannya ke telingaku.
Aku memejamkan mata. Berusaha menikmati lagu yang kudengar. Aku tidak menyangka akan mendengar lagu ini di playlist Luna. Lagu yang menggambarkan suasana kota di malam hari. Terbang begitu indah seakan setiap liriknya menjelma menjadi tiap bangunan yang kami lewati.
Sunshine and city lights will guide you home
And oh oh
Yeah you gotta know that I'll never let you go
Mmm, I'll never let you goNow we're stuck in midtown
Surrounded by people and nothing but sound
And we're going nowhere
And we are the lost and found***
KAMU SEDANG MEMBACA
NEBULA [15+]
Teen FictionUmurku 14 tahun, pecinta buku yang lumayan terobsesi pada benda langit. Dan, aku tidak terima, kenapa harus mendapat panggilan sehina itu? "Duda Miskin," ejek Miller sepupuku. Ya betul, ini kesalahanku. Semua dimulai saat malam, ketika Bella tiba-ti...