Petualangan malam tadi masih menyisakan bintik merah di area kaki dan juga tangan. Di antara Miller dan Suai Namun. Hanya aku yang tidak memakai celana dan baju panjang. Alhasil, menjadi santapan lezat para hewan penghisap darah itu. Walaupun sering dianggap sepele. Hewan kecil itu merupakan hewan yang paling banyak membunuh populasi manusia.
Jam 2 siang aku ada kelas Astronomi. Masih menyisakan setengah jam lagi sebelum kelasnya dimulai. Sekarang aku sedang menunggu Luna di teras gedung pusat kegiatan siswa. Duduk sendirian, dan sesekali mengecek ponsel hanya untuk melihat galeri.
Dari kejauhan. Aku melihat Rival yang sedang berjalan mendekat ke arah gedung. Dia datang lebih cepat dari biasanya. Aku yang malas bahkan hanya bertatapan dengannya. Memilih untuk pura-pura tidak melihat ketika dia melintas di depanku. Untunglah. Sepertinya dia sedang tidak mood untuk merecokiku hari ini. Ya, meskipun Rival memang sebenarnya tidak pernah berbuat aneh padaku saat di kelas Astronomi. Dia hanya akan bertingkah sok superior bila bersama komplotannya. Barangkali dia takut jika tiba-tiba kuajak berkelahi satu lawan satu.
"Nungguin siapa?" tanya satpam yang membantu kami tadi malam.
"Nungguin teman. Kami ada kelas Astronomi."
Satpam itu duduk di sebelahku. "Malam tadi kalian pulang jam berapa?"
"Kurang ingat, sih. Tapi sepertinya hampir jam 12 malam."
"Oh, jadi malam tadi kalian ke mana?"
"Ke rumahnya Suai Namun."
"Berarti sudah bertemu dengan keluarganya."
"Iya," jawabku. Aku juga ingin bertanya di mana rumah bapak satpam yang katanya bertetanggaan dengan Suai Namun. Habisnya, rumah Suai Namun sangat terpelosok. Seingatku juga tidak pernah melihat ada rumah lain di sekitar sana. Akan tetapi, pertanyaan itu hanya berhenti di kepalaku saja.
"Nasib anak itu sungguh jelek. Tapi dia juga sangat gigih. Jika tidak saya beri tahu tentang jalan rahasia itu, mungkin dia akan memilih bersekolah di tempat lain yang tidak menerapkan sistem asrama."
"Iya, dia sangat hebat."
"Kemarin dia mindahin pasir di halaman belakang sekolah untuk bisa bayar uang awal asrama. Tapi begitu pasirnya sudah dipindahkan semua, dia tidak akan bisa bekerja lagi. Dia butuh pekerjaan tetap. Bingunglah dia bagaimana bisa bayar uang asrama untuk bulan depan. Sampai saya beri tahu jalan rahasia itu. Akhirnya Suai Namun bisa bekerja sambil tetap tinggal di asrama."
Oh, jadi jelas sudah kenapa Suai Namun sedikit terlambat datang ke asrama. Padahal hari itu besoknya sudah acara pembukaan. Ternyata dia punya masalah dengan uang awal. Aku menundukkan kepala. Sedikit membayangkan kalau aku yang berada di posisinya.
"Seharusnya dia dapat beasiswa penuh karena berhasil mendapat peringkat pertama di ujian seleksi masuk. Tapi tiba-tiba dipotong menjadi 50 persen. Kata pihak sekolah, dia harus berbagi beasiswa itu dengan anak lain. Saya tidak mengerti. Padahal aturan awalnya tidak begitu."
Aku diam mematung. Kembali mengingat bagaimana kejadian saat hari pengumuman kelulusan. Seharusnya aku tidak jadi mendaftarkan diri ke sekolah ini karena alasan biaya. Sama seperti Suai Namun. Aku berhasil mendapat beasiswa. Akan tetapi, aku sendiri tidak jelas bagaimana bisa mendapatkannya. Saat aku bertanya pada Ayah dan Kak Lina. Mereka menyuruhku untuk tidak memusingkan hal itu dan hanya perlu datang ke sekolah.
"Ada berapa beasiswa di sekolah ini?" tanyaku.
"Setahu saya cuman satu. Beasiswa penuh untuk siswa dengan nilai ujian tertinggi. Tetapi seperti yang saya bilang tadi. Aturan tiba-tiba berubah. Ada dua anak yang mendapat beasiswa, dan masing-masing dari mereka mendapat 50 persen."
KAMU SEDANG MEMBACA
NEBULA [15+]
Teen FictionUmurku 14 tahun, pecinta buku yang lumayan terobsesi pada benda langit. Dan, aku tidak terima, kenapa harus mendapat panggilan sehina itu? "Duda Miskin," ejek Miller sepupuku. Ya betul, ini kesalahanku. Semua dimulai saat malam, ketika Bella tiba-ti...