08| Bu Guru

89 23 7
                                    

Aku sibuk dengan buku ramalan yang kupinjam beberapa hari lalu. Dan kini, terdengar suara gemuruh persis meteor yang baru saja melintasi atmosfer bumi.

Aku mendekat ke arah jendela, kemudian mengintip. Pandangan ini dimanjakan oleh mobil rongsok yang parkir di halaman rumah Bella.

Aku berlari, membuka pintu kamar dengan cepat. Alhasil, membuat Ibu yang sedang membawa tumpukan pakaian mengeluh. Dia protes, sayangannya aku tidak mendengarkan hingga tiba di teras.

Aku duduk di kursi panjang yang mengarah ke rumah Bella. Bola mataku menyipit, ketika seseorang keluar dari dalam mobil sambil membawa kardus.

Dugaanku yang awalnya mengira orang itu adalah kurir yang salah alamat kini terbantahkan. Sebab, setelah kardus pertama dia mengeluarkan kardus lain dari bagasi mobilnya.

Aku semakin menyipitkan mata. Ya ampun, tetap saja tidak bisa melihat jelas siapa orang itu sebenarnya. Aku memutuskan untuk mendekat, sampai pagar rumah yang menjadi penghalang.

Tak lama kemudian, dua orang lain keluar dari mobil. Satu langsung ke rumah, dan satunya lagi yang berbadan kecil membantu seseorang tadi mengangkat kardus.

“Tetangga baru, apa kamu tidak mau ke sana, Eggy?” tanya Ayah dengan segelas kopi, dia bersandar di daun pintu.

Aku menggeleng sebagai jawaban. Bagaimana pun, rasanya sangat menakutkan. Aku bukan tipe orang yang sok akrab. Jika bertemu mereka, paling tidak yang bisa kulakukan hanya diam. Kecuali ada orang yang bertanya lebih dulu, itu pun akan kujawab ala kadar. Lain cerita kalau orang asingnya seperti anak di perpustakaan. Aku bisa akrab dengannya, ya mungkin karena akan lebih leluasa mengobrol dengan orang yang lebih muda.

Kejutan datang, bukan dari Ayah. Tapi, tunggu aku mau memastikan dulu. Dia, sepertinya aku kenal, dia berjalan mendekat hingga kami hanya terpisah oleh pagar. Kini, aku sudah jelas melihat wajahnya. “Aldebaran?”

“Halo, Kakak. Rumah, Kakak di sini?”

“Iya, kamu pindah di rumah itu?”

“Kalian sudah saling kenal?” tanya Ayah, dia duduk di kursi yang kutempati tadi. Dari raut wajahnya, Ayah tampak terkejut

Aku berdeham. Kemudian berbalik ke arah Aldebaran. Hendak meminta kejelasan.

“Belum juga tiga menit, tapi Aldebaran sudah punya teman. Kakak mau main ke rumahku? Oh iya, nanti siang Bu Guru juga mau ke sini, seperti biasa. Jadi, mungkin, Kakak bisa bertemu dengannya. Pasti mau, kan?”

Aku menoleh pada Ayah. Astaga, apa-apaan yang dikatakan Aldebaran. Dia membuatku seolah-olah ada ketertarikan pada Bu Guru. Jujur rasanya kehilangan muka, saat itu Ayah mengangkat sebelah alisnya.

“Kak,” panggil Aldebaran.

Dia mengisyaratkan agar telingaku mendekat ke mulutnya. Setelah selesai, senyumku bermekaran. Aldebaran, dia mau membuat rencana. Rencana penaklukan hati Bu Guru dan mengalahkan kakaknya. Aku tidak yakin, akan berhasil. Tapi menarik juga. Tampaknya Aldebaran sudah belajar banyak dari buku yang dia baca.

“Maaf, Kak. Aku harus bergegas, masih banyak barang yang belum kubereskan. Rumahku harus selesai sebelum jam 3 sore, Bu Guru datang di jam itu.”

NEBULA [15+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang