22| Suai Namun Srilanang

21 5 0
                                    

Aku masih belum mengantuk. Sekarang sudah pukul 03.15. Kalau di rumah, Ibu biasanya sengaja masuk ke kamarku untuk memastikan anak semata wayangnya ini tidak boleh begadang. Namun, mungkin ini bentuk balas dendam yang ada pada diriku. Ditambah, asrama ini dilengkapi dengan wi-fi, jadi aku bisa sepuasnya bermain ponsel.

Sebenarnya aku tidak memaksakan diri untuk begadang. Hanya saja, aku tidak mengantuk sama sekali. Penyebabnya mungkin ponsel di tanganku ini.

Baterai ponselku hampir habis. Semoga sebentar lagi aku bisa tidur, walaupun saat bangun nanti aku akan kesal setengah mati karena tidak bisa menggunakan ponselku. Habisnya, kalau aku memilih untuk mengisi daya ponsel sekarang, karena tidak mampu menahan diri, ponselnya aku ambil lagi dan kugunakan kembali dengan baterai yang paling tidak sudah terisi lima sampai sepuluh persen. Siklusnya akan terus seperti itu sampai aku benar-benar tidak bisa tidur.

Kalau dipikir kembali, ponsel bukan satu-satunya penyebab susah tidur yang kualami. Ada faktor lain, seperti lingkungan baru yang rasanya begitu asing. Ditambah, entah perasaan semangat atau terlau khawatir. Hari pembukaan besok masih belum terbayangkan sama sekali.

Ponselku mati. Aku meletakkannya di bawah bantal. Kini aku berencana untuk benar-benar tidur. Aku menarik selimut sehingga menutupi setengah badan. Kemudian melipat tangan di depan dada. Aku memejamkan mata, dan hanya fokus mendengar gemuruh petir dan rintik hujan yang terjadi di luar. Sepertinya ini berhasil, sebentar lagi aku akan tidur.

Kreet .....

Aku refleks membuka mata. Suara itu begitu jelas. Ada seseorang yang baru saja membuka pintu kamar. Aku memiringkan badan ke samping, memastikan apakah Miller yang baru saja melakukannya. Ternyata sangat mengejutkan, Miller masih tertidur di ranjangnya. Lalu, siapa yang membuka pintu?

Jantungku berdegup lebih cepat. Tubuhku terasa membeku. Jelas sekali yang baru saja masuk ke kamar adalah orang asing. Pencuri? Rasanya ingin menyalahkan diri sendiri kenapa bisa sepengecut ini. Nyaliku begitu ciut sehingga tidak mampu untuk bangun dari ranjang. Kalau saja aku tidur di ranjang bawah, mungkin aku bisa melihat siapa orang asing itu.

Aku tidak bisa terus seperti ini. Harus berani. Aku memaksakan diri bangkit dari tempat tidurku. Sekarang aku dalam posisi bisa melihat siapa orang asing tersebut, posisi duduk. Orang itu masih berdiri di dekat pintu, dia menggunakan jaket tebal dengan penutup kepala. Dia meletakkan sepatunya di rak sepatu. Meletakkan sepatu di rak sepatu? Benarkah pencuri?

Dia sadar akan kehadiranku. Orang itu menoleh ke arahku sambil melambaikan tangan. "Aku terlalu berisik ya? Jadi kamu terbangun," katanya seraya melepas jaket dan menyeret koper.

"Siapa?" tanyaku, masih tetap di atas ranjang.

"Namaku Suai Namun Srilanang, teman sekamar kalian. Ini buktinya." Dia memamerkan kunci kamar dengan gantungan kunci yang sama dengan milikku dan Miller. "Eh, bukannya kamu yang di halaman belakang sekolah?"

"Iya," jawabaku singkat. Jujur, aku masih tidak percaya.

"Lemari sama meja belajarku yang mana?"

"Meja belajar yang kosong tidak ada buku sama lemari warna hijau."

"Oke, terima kasih." Suai Namun mengeluarkan isi koper dan meletakkan barang pribadinya ke dalam lemari.

Dari atas sini, aku bisa melihat kalau anak itu tidak terlalu punya banyak barang, sehingga dia dengan cepat selesai dengan urusannya dan langsung melompat ke tempat tidur. Tempat tidur yang tersisa hanya ranjang di bawahku.

Aku kembali berbaring, sambil memejamkan mata aku bertanya pada Suai Namun, "Kenapa baru ke asrama sekarang?"

"Karena awalnya aku tidak mau tinggal di asrama. Tapi, keadaan seolah memaksa, jadi mau tidak mau."

"Kenapa tidak mau tinggal di asrama?"

"Karena uang."

"Jadi, karena itu kamu mengangkut pasir di halaman belakang?"

Suai Namun tertawa kecil sebelum menjawab, "Uang memindahkan pasir tidak akan cukup. Sebenarnya aku dibantu sama orang lain agar bisa bayar uang asrama."

"Siapa?" tanyaku.

"Rahasia."

Aku mengembuskan napas pelan. Padahal aku sedikit penasaran. "Aku kira kamu masih SMP. Ternyata di luar dugaan bisa satu kamar."

"Aku sekolah satu tahun lebih cepat. Aku juga kaget tadi, tapi sedikit senang juga. Bisa satu kamar dengan orang yang sudah dikenal."

"Oh, aku juga senang bisa satu kamar dengan orang yang sudah dikenal," jawabku. Kenal apanya? Padahal baru ngobrol sekitar sepuluh sampai tiga puluh menit.

Kalau boleh jujur. Aku sedikit frustrasi. Setengah hari bersama Miller saja sudah membuatku ingin melompat dari lantai sepuluh. Sekarang ditambah satu orang lagi. Ya, walaupun Suai Namun berhasil memberi kesan yang baik saat pertama kali bertemu dengannya. Akan tetapi, aku tidak mau berekspektasi tinggi karena takut dijatuhkan begitu saja.

"Yang di situ, siapa namanya?" tanya Suai Namun.

"Namanya Miller."

"Tidurnya nyenyak sekali."

"Iya." Aku baru tahu ada orang yang bisa tidur senyenyak itu setelah sedikit keributan yang dibuat oleh Suai Namun. Apalagi aku dan Suai Namun berbicara dengan volume suara yang bisa dibilang tidak pelan. Seekor koala sekalipun minimal berhasil membuka kelopak matanya barang sedikit. Sedangkan Miller tidak ada tanda-tanda sama sekali.

"Wajah kalian sekilas mirip."

"Mana mungkin. Jangan ngarang," jawabku cepat. Mirip apanya? Kami memang sepupuan, tapi kalau mau dibilang mirip hal itu sangatlah mustahil. Maksudku, level wajah yang dimiliki Miller jauh meninggalkanku. Meskipun, aku tak dapat menampik ada rasa senang berdenyar hangat di dalam dada. Dibilang mirip sama orang yang berwajah tampan.

"Namamu siapa?"

"Namaku Eggy. Namamu tadi Suai Namun Srilanang?" tanyaku.

"Iya, kamu masih ingat ternyata."

"Pasti ingat." Lagian siapa yang tidak bisa mengingat nama seunik itu. Bukan hanya unik, tetapi juga memberi kesan tradisional yang aesthetic. Aku sangat penasaran arti di balik nama tersebut.

"Panggil saja aku Suai Namun. Aku lebih nyaman dipanggil seperti itu. Dipanggil Suai terlalu singkat, dipanggil Suai Namun Srilanang terlalu panjang."

"Oh, baiklah," balasku. Aku juga lebih nyaman memanggilnya Suai Namun.

"Kamu tidak ngantuk, Eggy? Kita hanya punya beberapa jam untuk tidur. Sebentar lagi jam 4, sedangkan kita sudah harus di auditorium jam 7."

"Iya, ini aku mau tidur."

"Maaf ya, karena aku kamu jadi terbangun."

"Tidak masalah kok," kataku. Jujur aku tidak masalah karena memang sebelumnya aku tidak tidur sama sekali.

Di lain sisi, aku merasa kasian dengan Suai Namun. Mungkin perasaan lelah di perjalanan akan jauh berbeda dengan rasa lelah karena bekerja. Jika tidak begadang, aku masih dikasih kesempatan untuk istirahat tidur setelah lama di jalan. Mustahil dibandingkan dengan Suai Namun yang kulihat sudah bekerja dari jam 8 malam sampai jam yang aku sendiri tidak tahu, tapi aku yakin pekerjaannya itu membutuhkan waktu tidak sedikit, bisa kulihat dari tumpukan pasir di halaman belakang yang begitu menggunung. Setelah bekerja mungkin dia pulang dulu ke rumah untuk mengambil barang dan membersihkan diri, kemudian ke asrama dalam kondisi diterjang hujan.

***

Vote and comment, please.

NEBULA [15+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang