18| Kebahagiaan Sempurna

151 10 8
                                    

Aku duduk di depan meja belajar. Tidak memerhatikan apa pun. Lebih suka bergelayut di dalam pikiranku sendiri. Namun, dering ponsel memaksaku untuk beralih sejenak. Seketika melotot usai mengetahui panggilan video WhatsApp itu berasal dari Luna.

Aku membenarkan posisi rambut. Mengambil buku yang mungkin bisa dijadikan alat bersandar agar kamera ponsel bisa menyorot setengah badanku.

Sesuatu yang biasa. Luna menyambut pertemuan ini dengan cengir lebar. Terlihat rambut panjangnya sangat lurus dan juga lembab. "Bagaimana hasilnya, Eggy?" tanya Luna sambil menyisir rambut.

"Aku lolos."

Luna tampak kaget. Bola matanya nyaris melompat keluar. Seperti tidak bisa menahan diri, dia berteriak. Dan dengan cepat membekap mulut dengan tangannya sendiri.

Ada rasa bahagia saat melihatnya. Seutas senyum terlepas dari bibir. Luna kelihatan lebih senang daripada aku waktu di perpustakaan.

"Ini hari yang paling luar biasa. Gak nyangka perjuangan kita berbuah manis kayak gini. Tahu gak, Eggy. Senangnya aku pas lihat pengumuman itu paling 5 menit. Setelahnya aku ketakutan lagi. Takut kalau cuman aku yang lolos. Tapi sekarang kebahagiaanku udah sempurna."

Aku tidak mengucap sepatah kata pun. Benar-benar terharu sekarang. Dia menganggap akulah kebahagian sempurnanya. Luna khawatir. Sedangkan aku lupa tentang dia sebelum akhirnya dia yang menghubungi.

"Kalau sudah di SMA nanti kita ngambis bareng, ya? Temenin aku sampe tembus kedokteran, oke?"

Aku menunduk dalam. "Luna, aku ngundurin diri. Kamu yang semangat ngejar impianmu. Meski enggak ada aku di sana."

"Becanda, kan?"

Aku menggeleng. "Enggak, kok."

Luna diam cukup lama. Kulit wajahnya sedikit memerah. Lengkap dengan sorot mata tajam juga penuh kekecewaan. Membuatku tidak menyanggupi, memilih untuk menghindari tatapannya itu.

"Tapi kenapa, Eggy?"

Aku tetap tidak menoleh ke arahnya. "Tadi Ayah ditelepon pihak sekolah. Mereka nyebutin perincian yang harus dibayar. Mulai dari uang bangunan, SPP, asrama. Ayah enggak punya uang sebanyak itu."

"Terus kamu diam aja? Kenapa enggak coba marah! Ayo dong marah! Kalau perlu hancurin seisi rumah. Sampai mereka bolehin kamu buat lanjut sekolah."

Aku memberanikan diri untuk menoleh padanya. Namun, tak berapa lama. Kemudian kembali menunduk. "Aku enggak bisa lakuin itu. Ayah, Ibu. Aku yakin mereka dalam posisi yang lebih parah daripada aku."

Luna membanting tangannya ke atas meja. "Aku marah sama kamu, Eggy. Kalau kamu ngundurin diri. Aku juga bakal ngundurin diri!"

Sudah tidak ada batas yang bisa menahanku. Aku mendongak dengan napas menggebu. Kutatap lekat Luna yang tampak kalut. Air matanya mengalir meski tidak diiringi isak tangis. "Jangan kayak anak kecil Lun. Luna!"

Kubuang napas dengan berat. Luna yang menutup panggilan secara sepihak memberi tendangan telak. Kepalaku terasa berat. Menyeret kaki ke tempat tidur pun seakan seluruh beban menahanku hingga tak sanggup bergerak. Aku sendirian sekarang.

Ibu dan Ayah memutuskan untuk tidak datang ke kamarku setelah mengucapkan permintaan maaf atas ketidaksanggupan mereka. Aku tahu, dan mereka mengerti. Saat itu yang kubutuhkan hanya sendiri. Tapi setelah mendengar kemarahan Luna. Aku tidak sanggup lagi. Butuh seseorang untuk bisa kupeluk.

Aku menenggelamkan seluruh wajah pada buku bercetak tebal di atas meja. Membasahi satu halaman dan akan terus menembus ke halaman lain mengikuti seberapa lama kekalutanku terhadap ketidakberuntungan ini.

Jelas terdengar suara Ayah yang mengobrol melalui ponsel di ruang tamu. Ayah tidak membesarkan volume suaranya. Namun, mengingat jarak antara kamar dan ruang tamu tak terlalu jauh. Sedikit mempermudah untukku menyimak.

"Miller lolos, oh baguslah," kata Ayah.

Aku menutup telinga. Tadinya yang seolah tidak berdaya kini melompat cepat ke arah kasur. Berteriak tanpa suara.

👽❤️👽

Aku menjatuhkan kepala ke arah kiri. Dengan kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul. Perlahan mencoba menajamkan telinga, menerawang apa yang terjadi di ruang tamu. Yang bisa ditangkap dari  indera pendengaranku adalah, suara perempuan yang tak asing. Ada suara lain. Kutahu dia sedang mengobrol dengan Ayah.

Kugosok kedua mata yang telah bosan menangis. Disusul mengambil sikap duduk dan bersiap ke arah pintu. Meski dengan langkah lamban.

Begitu sampai. Kubuka sedikit saja bagian pintu. Agar bisa mengintip. Lalu memerhatikan keadaan luar. Kudapati Kak Lina tengah berdiri di depan Ayah. Mereka terlihat senang. Entah apalah arti senyum itu. Barangkali formalitas.

Aku membuka pintu lebar. Berbagai tebakan sudah mengalir deras di benak. Sedikit khawatir bagaimana reaksi mereka saat melihatku. Mereka pasti terkejut. Namun, kutarik lagi ucapanku. Spontan kedua kakiku berjalan mundur. Akan tetapi tidak menghentikan langkah Luna untuk tetap menghampiriku.

Kenapa tidak memikirkan kemungkinan terbesar ini. Luna pasti ikut ke mana Kak Lina pergi. Aku sungguh siap didampratnya habis-habisan.

Gadis itu tersenyum lebar. "Dua minggu lagi kita sudah bisa berangkat."

"Ke mana?"

"Sekolah baru," jawab Luna.

"Sekolah baru," jawab Luna

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

NEBULA [15+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang