Kisah ini bergenre remaja, juga drama. Namun, akan kumulai dengan alien. Apa kamu percaya tentang itu? Maksudku, banyak orang yang tidak mempercayainya. Sekelas Pak Habibie saja bilang, tidak ada bukti kalau alien itu ada. Al-Qur'an pun berpendapat sama, entah aku yang kurang mengkajinya atau apa? Setahuku Al-Qur'an memang tidak pernah membahas alien.
Aku agnostik. Tidak mempercayai agama tertentu walau dibesarkan dalam keluarga Muslim. Akan tetapi, aku tetap meyakini keberadaan Tuhan. Benar saja, alam semesta yang sekompleks ini? Pasti ada yang memulainya. Sama hal seperti, program komputer. Pertanyaan lain pun muncul.
Bagaimana dengan alien? Manusia sudah mengirim sinyal radio ke luar angkasa, berharap mendapat balasan. Sialnya, balasan itu tak kunjung datang sampai sekarang. Aku punya beberapa pendapat. Pertama, mereka tahu tapi mengabaikan. Sebab mereka menganggap manusia itu makhluk aneh. Kedua, alam semesta terlalu luas sehingga kita sulit menjangkaunya.
Aku menyukai sains, tapi benci perhitungan fisikanya. Apalah itu Hukum Kepler, aku tidak peduli. Salah satu kendala mungkin, aku mengerti saat teori itu disampaikan. Malang, ketika diberi soal yang harus mengandalkan logika lebih, agar angkanya bisa diotak-atik. Mendadak saja cap anak pintar yang kusandang terdengar memalukan.
Aku kurang pintar dalam logika karena itu orang menganggapku gila. Karena alien, di luar logika. Sebenarnya, aku tidak pernah bilang pada siapa pun mengenai alien. Aku hanya bilang pada Ayah. Ayahku yang berprofesi sebagai penulis.
Aku tidak tahu, mungkin Ibu membenci pekerjaan Ayah. Aku ingat saat Ibu bilang, 'Mac Harmon berpetualang ke Dunia Tak Berguna. Lalu berjumpa gadis aneh Eniyan, dan bla bla bla. Apa seharian kamu mengurus anak imajinasimu itu sampai lupa anak sendiri?'.
Ya, Ibu kesal. Ayah tidak pernah memberi uang belanja lebih dari hasil menulisnya. Malam hari, aku tidak pernah menikmati hidangan enak. Itu alasan Ibu menganggap Ayah tidak peduli anak sendiri. Bagaimanapun, aku sayang ayahku. Bangga mengakui kalau dia seorang penulis. Aku senang melihat koleksi bukunya, dia juga tak segan berbagi denganku. Hanya, aku tidak suka Ayah terlalu banyak menulis kisah cinta di novelnya. Oh ayolah, di dunia ini tidak melulu tentang cinta.
Lucunya, aku tidak pernah menyangka. Kalau umurku yang ke 14 tahun, telah mengalami rasa hangat itu. Tiap malam, sebelum tidur. Lamunanku selalu berisi bola matanya yang indah, bagiku mata itu terlihat bersinar. Aku suka bibirnya, juga rambut. Entahlah aku hanya menebak, barangkali aku menyukai bau badannya. Bau semangka, atau nanas?
"Masih sibuk dengan bukumu, Eggy?"
Aku tidak menoleh ke arah pemanggil. Sekarang sadar, buku setebal 200 halaman di depanku hanya jadi pajangan. Seharusnya ingin kubaca, tapi fokusku teralih karena perempuan dalam lamunanku.
Ketika Ibu datang, sontak aku pura-pura membenarkan letak kacamata. Semaksimal mungkin terlihat sibuk dengan buku. Ah, ini tidak nyaman. Lampu belajar yang seperti senter itu berkedip setiap tiga detik sekali. Aku harap benda itu benar-benar rusak besok, sambil berdoa agar Ayah mau membelikan yang baru.
"Akan segera tidur," begitu kataku. Kemudian merapikan meja, mencopot kabel lampu belajar dan beranjak ke tempat tidur.
Ibu mengikuti seraya mengusap belakangku. Sesampainya di atas dipan, aku pun berbaring. Menarik selimut usang sampai menutupi setengah badan.
Aku menatap sendu perempuan di depanku. Dia berkecak pinggang dengan bahu bersandar di dinding. "Tidurlah," katanya.
Aku memejamkan mata. Ibu merespons dengan melepas kacamata yang tanpa sadar masih bertengger di hidungku. Mataku terpejam, lalu dia mengecup kening. "Selamat malam," katanya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
NEBULA [15+]
Ficção AdolescenteUmurku 14 tahun, pecinta buku yang lumayan terobsesi pada benda langit. Dan, aku tidak terima, kenapa harus mendapat panggilan sehina itu? "Duda Miskin," ejek Miller sepupuku. Ya betul, ini kesalahanku. Semua dimulai saat malam, ketika Bella tiba-ti...