32| Evaluasi Pertama

21 5 0
                                    

Jantungku berdegup tidak terkontrol. Agar bisa rileks, aku mencoba beberapa teknik pernapasan. Salah satunya menarik dan menghembuskan napas selama hitungan detik. Sedikit mengesalkan, usahaku tidak berarti apa-apa. Dan berujung pada telapak tanganku yang ikut berkeringat.

Aku terus memperhatikan jam yang terpajang pada dinding di atas papan tulis. Menghitung setiap menit yang terlewat. Tidak seperti biasanya. Pak Munzir terlambat 10 menit. Padahal semua anak Astronomi telah berkumpul di ruangan ini setengah jam sebelum jadwal kelas dimulai. Kami semua sangat bersemangat. Sekaligus takut.

Hari ini Pak Munzir akan mengumumkan peringkat kami setelah evaluasi pertama yang dilaksanakan dua hari lalu. Hari itu kami mengerjakan 100 soal pilihan ganda dalam waktu 50 menit. Itu berarti tiga puluh detik untuk satu soal. Pak Munzir selalu punya cara berbeda setiap memberi soal. Sangat tidak mustahil untuk evaluasi berikutnya dia hanya akan memberi satu soal dalam waktu 24 jam.

Seperti biasa, Pak Munzir datang dengan langkah terburu-buru. Belum juga sampai di mejanya. "Nilai tertinggi Eggy, dan nilai terendah Luna."

Semua beban yang kupikul rasanya lepas begitu saja. Aku sangat bekerja keras untuk evaluasi pertama ini. Satu minggu penuh merelakan jam tidur siang hanya untuk latihan soal.

Luna tidak terlalu bekerja keras untuk mempersiapkan evaluasi pertama. Dia lebih memprioritaskan tugas sekolah. Seharusnya Luna tidak terlalu sakit hati. Namun, kenyataannya berbeda. Dia tampak tidak senang. Pandangannya selalu ke bawah. Aku merasa tidak enak jika terlalu bersemangat.

Pak Munzir duduk di kursi. Kembali memeriksa lembar nilai di tangannya. "Rival, nilaimu hanya satu poin lebih tinggi dari Luna. Jangan terlalu lega karena berada di tengah-tengah. Kau harus belajar lagi."

Ekpresi Rival yang awalnya sudah masam. Kini bertambah masam. Dari awal sebenarnya dia tidak pernah tampak kelihatan lega sama sekali. "Baik, Pak," jawab Rival.

Aku tidak tahu perasaan Luna saat diberi tahu fakta bahwa nilainya hanya berbeda satu poin dengan Rival. Kalau aku jadi dia. Perasaanku akan jauh lebih baik. Namun, sama seperti Rival. Ekpresi Luna tidak berubah dari awal.

"Nilai paling tinggi sekali pun bahkan tidak bisa menjawab benar di atas 50 persen. Sejak pertemuan pertama. Tidak satu pun dari kalian berhasil membuatku berlembut diri. Jika terus seperti ini. Sekolah kita tidak akan punya perwakilan untuk cabang lomba Astronomi."

Kejam sekali, dijatuhkan begitu saja. Tidak bisakah aku menikmati hasil kerja kerasku barang hanya sebentar saja? Ya sudahlah. Setiap pertemuan watak Pak Munzir memang seperti itu. Selalu kurang puas dan mengintimidasi.

Ada yang aneh. Sepertinya Rival terseringai bahagia saat Pak Munzir menyinggung nilaiku yang bahkan tidak mencapai 50 persen. Dia memang orang paling jahat yang pernah kutemui.

"Minggu depan kita akan mengadakan evaluasi kedua. Saya harap kalian belajar lebih giat. Terutama kamu, Luna. Jika nilaimu paling rendah lagi. Maka lebih baik kamu mengundurkan diri dari kelas Astronomi."

"Baik, Pak," jawab Luna pelan. Dia keliatan hampir menangis.

***

Sehabis kelas Astronomi. Aku tidak langsung kembali ke asrama. Melainkan berbelok sebentar ke arah toilet. Saat di jalan menuju toilet. Aku rasa ada orang yang mengikutiku. Dengan cepat aku menepis praduga itu. Toilet, kan tempat umum. Jadi wajar ada orang yang berjalan di belakangku.

Aku tiba di toilet lantai tiga. Kondisi toiletnya sangat berbeda dengan toilet di sekolahku dulu. Sekolah ini hampir punya fasilitas toilet yang sama seperti toilet di mall ataupun bioskop. Ya meskipun secara harpiah masih di bawahnya, tapi paling tidak sedikit mendekati.

Sebelum buang air kecil. Aku memilih untuk bercermin terlebih dahulu. Memantau perkembangan jerawat yang ada di sekitar daguku. Diperkirakan jerawat tersebut akan matang sekitar dua hari lagi. Selagi jerawat di dagu belum matang. Muncul cikal bakal jerawat baru di dahiku. Ini sangat memuakkan.

Setelah dirasa cukup. Aku langsung masuk ke salah satu pintu toilet. Mengikuti panggilan alam. Setelah kurang lebih satu menit. Akhirnya aku bisa bernapas lega.

Aku hendak keluar, tapi sepertinya terkunci dari luar. Dengan perasaan kalut dan bingung, aku terus mencoba menggedor pintu toilet. Berharap ada orang baik di luar sana.

Setelah usahaku tidak membuahkan hasil. Aku mencoba cara lain dengan berteriak sekuat tenaga. Namun, sepertinya nihil.

Aku menundukan kepala. Mengintip dari celah yang ada pada bawah pintu. Memastikan apakah benar tidak ada orang di luar? Ternyata memang tidak ada.

Aku yakin ini bukan kesalahan teknis. Ada orang yang sengaja menjahiliku. Jelas saat aku buang air kecil tadi, aku mendengar langkah kaki seseorang berdiri tepat di depan pintu toilet yang sedang kugunakan. Sial. Padahal tadi aku sudah merasa ada yang tidak beres, tetapi terlalu menyepelekan.

Aku sudah lelah berteriak. Pilihan selanjutnya adalah menghubungi Miller. Aku sedikit ragu dengan Miller, apakah dia sanggup menolongku? Aku yakin ini semua ulah ketua komplotannya, yaitu Rival. Dan Miller pasti butuh usaha keras agar bisa menolongku tanpa ketahuan.

Lima menit berlalu. Miller juga belum mengangkat teleponku. Siapa lagi yang bisa kuharapkan? Minta bantuan Suai Namun juga percuma. Dia tidak ada di sekitar sekolah ataupun asrama karena sedang sibuk membantu ibunya.

Aku akan coba menggedor dan berteriak sekali lagi. Jika masih tidak bisa. Terpaksa memanjat dinding toilet. "Siapa pun di luar tolong buka pintunya!"

Pintu toilet terbuka. Ternyata malaikat penolongku adalah Luna. "Kamu tidak apa-apa?" tanyanya.

"Terima kasih."

Luna langsung memalingkan badan dan langsung berlari keluar. Wajahnya tampak sedikit panik.

Aku segera mencuci tangan dan bergegas mengejar Luna.

Ternyata Luna sedang menungguku di luar. "Aku sudah curiga dengan Rival yang mengikutimu ke toilet. Setelah kalian berdua masuk ke dalam toilet. Dia keluar sangat cepat. Sedangkan kamu lama banget di dalam."

"Jadi seriusan Rival yang melakukannya?"

Luna mengambil sesuatu yang tertempel pada tasku. "Iya, siapa lagi? Sekarang dia semakin terang-terangan membully. Dia juga makin berani, padahal tidak sedang bersama anak buahnya."

Aku mengambil kertas di tangan Luna. Seperti dugaanku, ada tulisan tangan dengan tinta biru pada kertas putih tersebut. "Sudah merasa paling cerdas? Dasar bencong," aku mengeja tulisan yang ada pada kertas.

"Jangan dipikirin. Menyebutmu bencong hanya karena tidak suka olahraga dan punya teman cewek bukanlah sesuatu yang bisa diterima akal sehat," ucap Luna. "Benar kata Ivy. Dia tuh yang sebenarnya punya mental bencong. Aku rasa Rival iri dengan nilai evaluasimu yang lebih tinggi dari dia."

Hatiku menghangat ketika mendengar perkataan Luna. Dia selalu bisa membuatku nyaman bersamanya. Terlebih lagi. Luna sampai nekat masuk ke toilet pria hanya untuk memastikan apakah aku baik-baik saja.

"Terima kasih lagi, Luna," kataku.

***

Vote and comment, pleaseee!

NEBULA [15+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang