03| Keluarga Bella

206 26 3
                                    

Hari Minggu, tepatnya jam sepuluh pagi. Aku terdiam pada selembar kertas selebar satu meter. Kertas besar yang kugunakan untuk menggambar peta bintang. Aku sudah punya versi cetaknya. Hanya iseng menggambar ulang. Tidak tahu sih, anggap saja usaha agar bisa melupakan suatu hal.

Sudah berbulan-bulan semenjak malam yang penuh kesialan. Dan selama dua bulan itu juga kesialan benar-benar menguntitku. Bella tidak mau berteman lagi, aku coba menyapa kalau bertemu, tapi dia hanya tersenyum singkat dan setelahnya mengabaikan.

Aku tak habis pikir, akan tetapi tiba-tiba saja instingku langsung berfungsi, aku mendengar langkah seseorang yang menuju kamar. Aku bergegas melipat peta bintang dan menaruhnya di laci, kemudian menggapai kacamata di sudut meja, meraih sembarang buku di rak. Berpura-pura sibuk dengan bacaan. Pandanganku mengintip dari celah buku.

Se per sekian detik. Ibu datang dengan helaan panjang, tangannya berlipat di depan dada. “Orangtua, Bella ada di luar.”

Aku berbalik, melepaskan kacamata dengan mata terbelalak. “Kenapa harus aku?”

“Jelaskan saja pada mereka.”

Oh tidak, ada pikiran buruk tentang ini. Aku semakin memantapkan diri untuk tidak bangkit dari kursi. “Bilang saja, aku tidak ada di rumah.”

Ibu menggeleng, meremas pelipisnya dengan sangat gusar. “Itu mustahil, Ibu sudah bilang kalau kamu ada di kamar.”

Sekali lagi mendapat reaksi menyebalkan. Ibu mendorong bahuku, tidak terlalu keras tapi cukup membuatku terlepas dari kursi. Cepat, kutepis tangan itu dari bahuku. “Iya, aku ke sana.”

“Baguslah, mungkin kamu ada masalah dengan Bella.”

Aku membiarkan Ibu berjalan lebih dulu. Ternyata sial, Ibu melangkah begitu cepat. Aku sulit mengimbanginya. Jadi, aku melepaskan diri dan berjalan sendiri di belakang, sangat pelan seperti memakai gaun tuan putri.

Kupejamkan mata sejenak, ingat kalau sudah tiba di ruang tamu. Aku mendongak, ada tiga orang yang bukan penghuni rumah sedang berkumpul di kursi ujung. Sepasang suami istri dan anak perempuan yang duduk di antara keduanya, dia menunduk.

Aku mengikuti Ibu dengan duduk di sampingnya. Sekilas aku melihat pandangan keluarga Bella yang tampak menyeramkan. Juga baju mereka, aku tidak mengerti sepagi ini di hari Minggu, mereka tetap berpenampilan mewah. Dandanan ala mama Bella dan jas berlengan panjang nan dipakai papanya.

Harusnya mereka pergi kerja, tapi aku tahu ini urusan yang sangat penting sehingga mereka mau repot-repot. Jujur, aku sudah memiliki tebakan. Namun, aku terlalu takut mengakuinya.

Aku beralih melihat Bella, perempuan itu tidak kontras dengan dua orang di sampingnya. Dia kumal, sekujur tubuhnya basah. Dan, dia menangis. Tentu hal itu membuatku menunduk semakin dalam. Sampai Ibu menepuk bahu, membisikanku agar mengangkat kepala.

“Eggy, kamu tahu apa yang kamu perbuat?” tanya perempuan di samping Bella dengan lembut. Ibu yang sangat baik pada anaknya. Walaupun aku tahu. Mama Bella yang sekarang bukanlah ibu kandungnya. Aku tidak yakin, kurasa semua ibu tiri memendam perasaan ini. Seolah dituntut tidak boleh memarahi anaknya kalau tidak mau dicap ibu tiri yang jahat.

Sekali lagi, Ibu menepuk bahuku. Sialnya, bibir ini keluh, tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun.

“Eggy?” tanya mama Bella.

Aku tidak bisa menunduk terus, juga tidak bisa dituntut agar buka mulut. Terniat ingin meminta bantuan Ibu. Namun, Ibu terus saja berusaha membuatku berbicara. Akibatnya, aku menoleh pada Ayah yang duduk di samping Ibu. Tapi, Ayah juga tidak bisa menolong.

Ini yang kutakutkan, papa Bella mulai menunjukkan gerak-gerik aneh. Dia berdiri, mengembuskan napas berat. “Bella, katakan sesuatu agar semuanya jelas.”

Mamanya Bella menggeleng. “Dia tidak bisa.”

“Aku bisa,” Bella mengangkat kepalanya. “Tante, Om.” Dia menatap Ayah dan Ibu. Dan tatapan terakhir mengarah padaku. “Aku hamil, dan Eggy dia ....” Kalimatnya terputus.

“Baiklah Bella, semuanya jelas. Dan kamu, Eggy. Apa semuanya benar?” tanya papa Bella.

Aku mencengkeram erat celana pendek yang kukenakan. Baik, aku mengakuinya dan kemudian mengangguk. Aku tidak bisa menangis, kepalaku menengadah ke atas, tidak membiarkan setetes air pun terjatuh. Untunglah kacamata yang kupakai sedikit bisa menyembunyikannya. Astaga, aku tidak pakai kacamata, aku melepaskannya tadi.

Aku mencapai titik kepasrahan. Setengah yakin kalau akan ada orang yang memukulku. Namun, walaupun begitu, aku masih berharap Ibu saja yang melakukannya.  Sebab aku tidak tega jika mereka sakit karena anaknya dipukul orang lain.

Namun, semua dalam kebisuan. Beberapa detik berselang, mama Bella mengatakan hal yang tidak pernah kupikirkan. Iya, dia dengan nada penuh keramah-tamahannya mengajak dua keluarga ini untuk membincangkan masalah pernikahan. Dia sangat berharap pernikahan itu berlangsung secepat mungkin. Kalau boleh mengakui, aku kasihan pada mama Bella. Dia berlagak tidak terjadi masalah besar, dan itu justru membuatku iba.

Apa respons Ibu? Dia tidak merespons, hanya Ayah yang menimpali ala kadar, cukup mengangguk atau minimal berkata iya. Berbeda lagi dengan papa Bella yang selalu berwajah masam. Oh ayolah, tidak ada yang senang dalam acara perkumpulan ini. Tapi setidaknya, kita harus mencontoh mama Bella. Seperti perundingan acara pernikahan pada umumnya, penuh cinta dan berbahagia.

Yang benar saja, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Ketika mengingat pernikahan, yang terlintas di kepalaku hanya masa depan yang jelas kandas. Padahal besok Senin, banyak harapan yang kusimpan di hari itu. Pelajaran IPA, di mana Bu Salindri selaku pengajar sangat bangga kepadaku. Kebetulan kami memiliki hobi yang sama, mengamati konstelasi Crux yang memang sangat mudah ditemukan.

Sekarang, yang kutahu itu menjadi benar-benar sulit. Karena aku akan menikah, dan aku tidak bisa membayangkan harus putus sekolah.

Tidak pernah terpikir impian yang kubuat akan menyakiti seganas ini. Konstelasi bintang yang memiliki ceritanya masing-masing. Planet-planet, terutama Venus yang berenergi perasaan, emosi, dan juga cinta. Asteroid, meteor, juga Sirius bintang favoritku.

Impian itu harus dikubur dalam-dalam.

Lamunanku tentang impian dan juga ruang angkasa buyar. Keluarga Bella memutuskan untuk mengakhiri percakapan, mulai berpamitan. Bodohnya aku, tidak terlalu banyak mengingat obrolan penting yang terjadi  di ruang tamu. Kapan tanggalku menikah? Menikahi gadis yang memang kucintai, tapi kalau Tuhan bisa mengabulkan. Aku tidak mau dengan cara begini.

“Sekarang, masuk ke dalam kamar,” kata Ibu memasang wajah bengis. Ibu tentu berani melakukannya karena keluarga Bella sudah tidak ada di rumah.

“Jangan terlalu keras,” tegur Ayah.

“Kamu itu tidak mengerti apa yang terbaik untuk anakmu.”

Ayah tidak membalas perkataan Ibu, dia menggeser badannya agar duduk lebih dekat denganku. “Sudah tidak apa.”

“Sekarang, Eggy. Masuk ke kamarmu.”

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

NEBULA [15+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang