34| Evaluasi Kedua

23 5 0
                                    

Waktu berlalu begitu cepat. Rasanya baru kemarin kami disuruh mengerjakan soal evaluasi pertama. Dan sekarang, sudah kembali menunggu pengumuman hasil evaluasi kedua.

Saat mengisi jawaban, aku sedikit percaya diri karena materi yang selama ini kupelajari lebih dalam ternyata muncul di soal. Lembar kertas evaluasi kali ini hanya berisikan dua soal yang harus diselesaikan dalam waktu satu jam. Satu soal teori dan satu soal hitungan. Untuk pertama kali aku merasa soal hitungan jauh lebih mudah.

Pak Munzir hanya butuh waktu lima menit untuk mengoreksi jawaban kami. Lima menit yang terasa sangat cepat. Pak Munzir tidak pernah bilang kalau akan mengumumkan hasilnya hari ini juga.

Pak Munzir batuk dengan sengaja beberapa kali. Membuat suasana kelas yang awalnya memang hening, kini bertambah hening. Pak Munzir kembali melihat kertas jawaban kami. Dahinya berkerut sangat dalam. "Nilai tertinggi Eggy, kemudian Luna, dan nilai terendah Rival."

Luna hampir melompat saat namanya diisebutkan dan ada di urutan kedua. Malang. Dia mendapat tatapan sinis dari Pak Munzir. Tubuhnya membatu seketika. Tidak berhenti di situ. Tatapan sinis yang lebih menakutkan juga Luna dapatkan dari orang lain. Tatapan itu berasal dari Rival. Luna semakin menundukkan pandangannya.

"Nilai Eggy dan Luna tidak terpaut jauh. Tapi kamu, Rival. Bahkan tidak mampu menjawab satu soal pun."

"Tidak mampu menjawab satu soal pun bukanlah kesalahan besar jika yang diberikan hanya dua soal," balas Rival dengan nada tinggi. Mustahil tidak ada orang yang terkejut dengan caranya membalas ucapan Pak Munzir.

Pak Munzir tertawa singkat. Dia berdiri dari kursinya dan berjalan mendekati sumber suara yang coba menantangnya. "Berani kamu mengatakan hal seperti itu setelah hanya mampu menjawab 10 dari 100 soal di evaluasi pertama?"

Rival terdiam. Dia berusaha menghindari kontak mata dengan Pak Munzir yang sudah berdiri di depannya.

"Jangan mengganggap dirimu superior dan bisa melakukan semuanya sendiri. Turunkan ego, dan diskusikan beberapa soal bersama temanmu yang lain."

Rival tidak menjawab. Dia semakin menundukan kepalanya dengan tangan yang terkepal erat.

"Luna. Lain kali ajakah Rival belajar bersama kalian."

"Baik, Pak," balas Luna.

Pak Munzir kembali ke meja dan mengambil beberapa benda pribadi miliknya. Tanpa sepatah kata pun. Dia berlalu meninggalkan kelas.

Aku dan Luna kompak saling pandang. Sebelum akhirnya, bersama-sama menoleh ke arah Rival yang masih tertunduk.

"Mau belajar bareng, Rival?" tawar Luna.

Tawaran tersebut tidak digubris sama sekali. Dengan tergesa-gesa Rival langsung menautkan tas ke pinggangnya dan berjalan cepat keluar ruangan. Dia bahkan tidak menatap ke arah kami.

"Baguslah kalau tidak mau," sambung Luna.

***

Kelas Astronomi berakhir lebih cepat dari biasanya. Luna mengajakku untuk sedikit menikmati hasil kerja keras kami kali ini. Berhubung masih punya banyak waktu. Kami memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Perpustakaan tutup jam 5 sore. Lagi pula, akses kami untuk bersenang-senang sangatlah terbatas. Pagar tinggi yang mengelilingi seluruh sekolah benar-benar mengisolasi kami dari dunia luar. Untuk sekarang seperti itu faktanya. Kalau bersama Suai Namun, sedikit berbeda.

Heran dengan diri sendiri. Kenapa baru sekarang terpikir untuk pergi ke perpustakaan. Padahal waktu di kampung halaman, perpustakaan sudah kuanggap seperti rumah kedua. Ditambah lagi, aku selalu melewati perpustakaan setiap mau ke asrama laki-laki. Akan tetapi, bentuk depan perpustakaan yang biasa saja itu membuatku tidak berminat sama sekali. Bentuk depannya seperti ruang kelas biasa. Perbedaan hanya terletak pada bagian atas pintu yang tertulis 'Library'.

"Rasanya puas sekali saat Rival dimarahi tadi," kata Luna.

Aku tidak menggubrisnya karena sangat tidak tertarik jika membahas keburukan seseorang. Bagiku itu akan mengurangi citra diri sendiri.

Sekarang kami berada di perpustakaan dan sedang mencari tempat duduk. Ada banyak sekali kursi dan meja yang bisa kami tempati. Hanya saja Luna terlalu pemilih, jadi harus berputar-putar terlebih dahulu untuk menemukan tempat yang pas menurutnya. Setelah gusar berkeliling. Akhirnya pilihan Luna jatuh pada meja yang berada jauh di ujung--tidak dekat dengan jendela sama sekali. Meja itu tersembunyi sendirian dan bentuknya bulat kecil. Sepertinya hanya bisa ditempati tiga orang. Tidak ada kursi karena memang harus duduk lesehan.

Luna melepas hoodie merah muda yang ia kenakan dan meletakkannya di bawah meja. "Pokoknya sekarang tidak boleh ada yang belajar dan tidak ada yang bahas Astronomi. Sekarang kita fokus membahagiakan diri. Aku mau baca-baca novel."

"Tapi aku sukanya buku Astronomi."

Aku yang sedang duduk manis ini tiba-tiba dijitak kepalanya. "Jangan buat aku nyesal ngajak kamu ya, Eggy. Kalau gitu, cari aja novel yang berhubungan dengan Astronomi." Luna lekas pergi dan mencari buku yang dia cari.

Aku berdiri. Berjalan mengikuti ke mana perginya Luna. "Aku baca buku yang sama dengan kamu saja," kataku usai berdiri tepat di samping perempuan yang rambutnya terpasang pita berwarna merah itu.

"Serius? Selera kita beda jauh, loh." Luna mengambil buku dengan sampul berwarna biru. "Bukunya hanya satu. Kamu cari buku yang lain saja." Luna memalingkan badan dan kembali ke tempat tadi.

Lelah memilih. Aku langsung mengambil sembarang buku dan bergegas menyusul Luna yang sudah duduk santai di tempatnya. Peduli amat dengan buku yang akan kubaca. Yang terpenting sekarang. Aku bisa menghabiskan waktu bersama Luna. Sesuatu yang tidak bisa dimiliki Suai Namun.

Aku duduk di depannya. Luna tampak fokus membaca. Baru mau membuka halaman satu. Luna memulai percakapan, "Eggy. Kamu dan Suai Namun teman satu kamar, kan? Apa yang kamu ketahui tentang dia?"

Aku merasa tersinggung dengan pertanyaannya itu. "Kenapa?" tanyaku sambil mengangkat sebelah alis.

"A ...."

"Oh, banyak yang aku tahu," kataku memotong perkataan Luna. Aku takut akan mendengar jawaban yang tidak mau kudengar. Terutama bagaimana perasaan Luna terhadap Suai Namun. Aku belum sanggup mengetahuinya.

"Apa aja?"

"Dia," aku berpikir sejenak. "Dia suka kentut sembarangan. Sama jarang mandi. Hari ini saja, kayaknya dia lupa menggosok gigi."

Bola mata Luna membulat penasaran. "Serius? Tapi kalau di kelas wajahnya kelihatan kayak segar segar aja?"

Aku menepuk pahaku seraya berpura-pura menahan tawa. "Ini rahasia cowok ya. Kalau cowok cukup pakai minyak rambut udah pasti kelihatan kayak orang udah mandi."

Luna mengangguk. "Oh, iya juga. Terus yang baik-baik dari Suai Namun tuh apa?"

Pertanyaan yang sangat sulit. Apa strategiku selanjutnya? Kalau begitu. Bagaimana kalau menyebutkan kelebihan Suai Namun, tetapi kelebihan itu juga dimiliki olehku. "Dia rajin datang ke kelas."

Luna bertepuk tangan dengan suara pelan. "Wah, keren."

Apa-apaan ini? Aku tidak senang melihat reaksinya. "Aku juga rajin datang ke kelas."

Luna tertawa kecil. Lesung di pipinya terlihat sangat menggemaskan. "Hem, iya. Kamu juga rajin."

"Suai Namun tuh jorok orangnya. Jangan terlalu dekat-dekat sama dia."

Luna hanya menunjukkan jempolnya sebagai balasan. Dia kembali fokus membaca novel. Semoga Luna mempertimbangkan perkataan terakhir yang kuucapkan padanya. Meskipun cukup diakui aku sangat licik kali ini. Tapi apa boleh buat. Ini bagian dari tak-tik perang.

***

Halo, terima kasih telah membaca. Jangan lupa vote dan beri tanggapannya.

Bab ini lucunya dapat gak ya? Atau biasa aja?

Terus rencananya aku mau menamatkan kisah ini dalam 40 bab. Itu berarti bentar lagi. Selain itu aku juga berencana untuk ganti judul. Karena aku sadar, judul yang sekarang masih kurang menggambarkan kesuluruhan cerita. Ditambah lagi, setelah masuk ke sekolah baru. Eggy umurnya udah 15 tahun, bukan 14 lagi.

Sampai ketemu di bab selanjutnya 😊

NEBULA [15+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang