Sekarang jam tujuh malam. Tidak seperti rencanaku siang tadi, aku sudah kehilangan hasrat untuk membeli es krim. Entah apa alasannya. Padahal siang tadi saat Luna tidak memberiku es krim. Ada perasaan kesal yang teramat dalam. Juga kebingungan. Aku tidak tahu harus menaruh rasa kesal ini kepada siapa. Luna, atau Suai Namun?
Berbeda dari malam biasanya. Malam ini terasa sangat gerah. Aku merasa tidak cukup dengan kipas angin yang terpasang di langit-langit ruangan, aku meminjam kipas angin portabel milik Miller. Aku harap semua usahaku ini akan berhasil.
Berbeda denganku. Cara Miller menghilangkan gerah adalah dengan berdiam diri di dalam kamar mandi. Tidak bermaksud melebih-lebihkan. Hampir satu setengah jam dia tidak pernah keluar dari tempatnya itu. Gerah dan bau keringat. Itulah keadaanku sekarang kalau Miller tidak juga selesai dengan urusannya.
Aku berharap pintu kamar mandi itu segara terbuka, dan sepertinya doaku hanya terkabul setengahnya saja. Pintu yang terbuka adalah pintu depan. Pasti kalian bisa menebak siapa yang baru saja datang. Suai Namun.
"Kegerahan, Gy?" tanya Suai Namun. Dia terlebih dahulu meletakkan sepatunya di atas rak.
Aku merespon pertanyaan itu dengan hanya tersenyum singkat.
Suai Namun tidak bereaksi apa pun usai mendapat respon singkat dariku. Kini dia sudah duduk di meja belajar sambil mengacak-acak tumpukan buku miliknya. Lebih tepatnya mencari salah satu buku dengan cara sedikit bar-bar. Setelah mendapat buku yang ia cari. Suai Namun langsung sibuk menulis. Barangkali dia akan memperbaiki kerusakan yang telah dia buat setelah selesai menulis.
Kami memang ada tugas merangkum yang harus dikumpulkan besok pagi, dan aku sedang kehilangan semangat untuk mengerjakannya. Rasanya begitu malas. Apalagi untuk bisa menulis aku harus duduk di kursi belajar yang tepat berada di samping Suai Namun. Aku berencana mengerjakan tugas itu nanti subuh saja. Aku tahu akan ada hukuman berat jika kuabaikan tugas tersebut.
Aku baru tersadar. Ini adalah kali pertama Suai Namun pulang ke asrama di bawah jam 12 malam. Benar-benar aneh. Aku mau menanyakan kejanggalan itu padanya, tetapi egoku masih memenuhi isi kepala. Aku tidak mengerti ada apa denganku. Kenapa begitu membenci Suai Namun. Mungkinkah aku iri karena betapa kerennya dia jika dibandingkan denganku. Terutama saat Suai Namun berhasil mendapat es krim dari Luna.
Suai Namun berhenti menulis. Dia mengetuk penanya beberapa kali pada sudut meja. "Boleh pinjam penamu, Eggy?" tanya Suai Namun. Pena miliknya tidak berfungsi dengan baik.
Aku pura-pura tidak mendengar.
Tidak lama kemudian. Pintu kamar mandi berderit. Diikuti semerbak harum mint bercampur stoberi yang dengan cepat memenuhi seisi ruangan. "Kamu mau pinjam pena? Itu ambil saja di dalam kotak pensil warna biru," kata Miller.
Suai Namun mengikuti intruksi yang diberikan. Setelah mendapat apa yang dia butuh. Suai Namun kembali menulis. Saat menulis dia berkata, "Sekarang jam berapa? Belum terlalu larut malam, kan? Bagaimana kalau kita keluar sebentar?"
"Ke mana," tanya Miller. Dia lagi sibuk menepuk lembut seluruh wajahnya karena sedang menggunakan skincare.
"Kalian tidak penasaran ke mana aku pergi selama ini?"
Aku tidak bisa menahan diri. Dengan cepat melupakan semua kekesalan yang tadinya menumpuk di dalam hati. "Sangat penasaran," kataku. Yang awalnya tadi berbaring malas-malasan, kini duduk tegap dengan sempurna.
"Akan kutunjukkan ruang rahasia. Ruang rahasia itu akan mengantar kita keluar dari sekolah ini tanpa harus melompati pagar."
"Kukira selama ini kamu sudah izin dengan satpam penjaga sekolah. Ternyata perginya diam-diam," kata Miller yang hampir selesai dengan kegiatannya. Dia hanya tinggal memasang baju.
KAMU SEDANG MEMBACA
NEBULA [15+]
Teen FictionUmurku 14 tahun, pecinta buku yang lumayan terobsesi pada benda langit. Dan, aku tidak terima, kenapa harus mendapat panggilan sehina itu? "Duda Miskin," ejek Miller sepupuku. Ya betul, ini kesalahanku. Semua dimulai saat malam, ketika Bella tiba-ti...