31| Segitiga Musim Panas

30 5 0
                                    

Kami berjalan beriringan mengikuti jalan setapak yang lebarnya hanya bisa dilewati satu orang. Di sepanjang jalan, terpasang beberapa kayu untuk berpegangan. Kayu yang satu dengan yang lain diberi jarak sekitar setengah meter. Kayu-kayu tersebut tidak ada gunanya sama sekali karena jalan menuju puncak bukit tidaklah securam itu. Akan lebih baik jika setiap kayu yang tingginya satu meter itu dipasang lampu.

Beruntungnya, bukit yang sedang kami daki hanyalah padang rumput sehingga cahaya bulan dapat dengan maksimal menjangkau area sekitar. Meskipun cahaya bulan sudah lebih dari cukup. Lampu jalan tetap sangat penting karena tak selamanya bulan bisa bersinar terang seperti malam ini.

Tidak butuh waktu lama. Kami berhasil sampai ke puncak bukit. Cahaya kuning yang terlihat dari bawah adalah cahaya lampu yang berasal dari salah satu pondok. Pondok kecil tersebut dibangun di atas pohon. Pohonnya begitu kontras karena menjulang tinggi sendirian di tengah hamparan padang rumput.

Kami berjalan perlahan menaiki tangga yang melingkari pohon untuk sampai ke atas pondok. Kurang lebih hanya satu setengah putaran berpilin. Tidak menunggu lama, kami tiba di terasnya. Sulit mengakui kalau pondok ini merupakan rumah seseorang. Lebih pantas disebut tempat bermain anak-anak.

Bagiku, tempat yang minim polusi cahaya dan punya bentang sudut padang yang luas sudah lebih dari cukup jika hanya untuk memandangi langit malam. Namun, tempatku berdiri sekarang menawarkan sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sama sekali. Mengarah ke utara dan tepat menghadap laut.

Desir ombak bercampur suara lembut rerumputan yang tertiup angin berhasil menambah kesan magis. Aku bahkan tidak bisa mengedipkan mata barang sedetik pun. Begitu terpanah dengan pemandangan langit malam yang begitu menakjubkan. Bintang-bintang seperti mengeluarkan seluruh energi panasnya terkhusus untuk malam ini. Sekali lagi, ini menakjubkan. Bahkan dengan warna lautan yang gelap menyeramkan.

"Di siang hari, tempat ini jauh lebih indah. Perpaduan antara hamparan padang rumput hijau dan juga birunya lautan," kata Suai Namun.

Aku sangat penasaran seindah apakah itu.

Miller megintip keadaan dalam pondok melalui celah jendela. "Satpam itu tidak pernah ke rumah pondoknya lagi?"

Suai Namun tidak langsung menjawab. Memilih duduk sambil menjuntaikan kakinya ke bawah. Berpegangan pada pengaman yang hanya berupa pembatas kayu."Dia datang sebulan sekali. Itu pun hanya untuk bersih-bersih. Justru aku yang paling sering ke sini."

Miller sudah selesai dengan aktivitas yang dia lakukan sebelumnya, dan kini duduk di samping Suai Namun. “Ke sini sendirian? Ngapain aja?”

“Cuman lihat pemandangan. Kadang main layang-layang.”

“Benaran sendirian? Tidak ngajak teman gitu?” Bukan Miller kalau tidak cerewet.

“Ngapain ngajak teman? Kan aku ke sini memang lagi pengin sendirian.”

“Mana aku tahu.”

Setelah percakapan itu. Kami semua diam sambil memandang langit. Kalut dengan pikiran masing-masing. Ketika seseorang memandang langit, itu berarti pikirannya sedang penuh. Entah penuh oleh hayal ataupun beban pikiran.

Aku mengecek ponsel. Sekarang pukul 22.30. Aku kembali teringat dengan tujuan utama kami datang ke sini. “Segitiga musim panas. Masih ingat?”

Suai Namun menggaruk kepalanya. “Hampir lupa. Kita bisa melihatnya di mana?”

Aku menunjuk ke arah segitiga musim panas yang letaknya tidak terlalu jauh dari garis cakrawala. “Kalian lihat tiga bintang yang paling terang itu?” kataku.

“Yang mana? Ada banyak bintang yang semuanya sama-sama terang,” kata Miller.

Aku tahu hal ini akan sangat sulit. Aku kembali mengambil ponsel dan membuka aplikasi Sky Map. Mencari keberadaan Deneb yang merupakan bintang paling terang di konstelasi Cygnus. Deneb adalah ekor Cygnus yang membentuk pola segitiga bersama Altair dan Vega. Sama seperti Deneb, Altair dan Vega adalah bintang paling terang di konstelasinya.

“Sudah temukan Deneb?” tanyaku. Sebelumnya aku sudah memberikan ponselku pada mereka.

Di sini, Miller-lah yang aktif mencari. Suai Namun hanya mengikuti ke mana Miller mengarahkan ponselku untuk menemukan Deneb. “Ketemu,” kata Miller antusias.

“Cari Altair di rasi bintang Aquila. Terus cari juga Vega di rasi bintang Lyra.”

Miller kembali menggerakan ponsel, dan dengan cepat dia langsung menemukannya. “Altair letaknya yang  paling tinggi dan jauh itu, kan? Terus Vega yang paling terang.”

Sekarang mereka sudah menemukan ketiga bintang yang aku maksud. Sehingga bisa melihat segitiga musim panas tanpa bantuan Sky Map lagi.

Dulu, aku sangat menyadari kehadiran mencolok dari pola segitiga yang berhasil terbentuk oleh beberapa rasi bintang itu. Namun, aku masih belum menyadari makna kehadiran mereka. Sampai, akhirnya aku tahu. Kalau kehadiran mereka di langit utara menandakan musim panas sedang terjadi di bumi belahan utara. Bumi belahan selatan seperti sebagian besar wilayah Indonesia akan sedikit lebih sulit mengamati segitiga musim panas. Beruntungnya, di sebagian kecil wilayah Indonesia masih bisa melihatnya terutama di bulan September. Ya, walaupun segitiga musim panas hanya akan terlihat tidak jauh dari garis cakrawala. Sehingga butuh tempat yang sangat mendukung untuk dapat melihatnya, seperti tepi pantai atau di atas ketinggian. Aku beberapa kali memanjat rumah untuk dapat melihatnya.

“Bintang yang paling terang Vega, disusul Altair, dan Deneb yang paling redup,” kata Suai Namun. Ternyata dia sangat memperhatikan.

“Kayaknya aku cocok jadi Altair,” kata Miller.

“Kenapa?” tanya Suai Namun.

Miller terkekeh kecil sebelum menjawab. “Tidak ada. Namanya ganteng. Cocok, kan denganku?”

Aku dan Suai Namun hanya tertawa. Mau mencela jelas tidak mungkin karena satu orang pun tidak akan pernah bisa membantah ketampanan yang dimiliki Miller. Mungkin doktrin bangsa yang terjajah masih melekat pada diri kami. Sehingga standar tampan menurut kami memang harus yang bule-bule seperti Miller. Dan kulit lebih gelap yang dimiliki mayoritas bangsa Indonesia masih dianggap kurang menarik.

Jika Altair diibaratkan sebagai Miller. Suai Namun mewakili Vega yang paling terang di segitiga musim panas. Aku tidak punya alasan khusus. Bagiku, di antara kami bertiga. Suai Namun yang paling bersinar, dia yang paling keren. Berbanding terbalik denganku. Rasanya aku bahkan tidak pantas jika diibaratkan sebagai Deneb. Deneb yang paling redup sekalipun sebenarnya bintang yang paling terang di konstelasi Lyra. Aku? Tidak pernah bersinar sama sekali.

“Suai Namun cocok kalau jadi Vega,” kataku.

“Kenapa?” tanya Suai Namun.

Aku memilih tidak menjawab. Dan aku sama sekali tidak khawatir bagaimana tanggapan Suai Namun terhadap respon yang kuberikan.

Malam berjalan begitu cepat. Segitiga musim panas semakin turun mendekati garis cakrawala. Segitiga musim panas berlangsung singkat. Hanya bisa dilihat dari jam 7 sampai 12 malam. Dengan puncaknya, yaitu pada jam 9.

Sekarang sudah seharusnya kami kembali ke asrama. Sayanganya ada sedikit kendala di sini. Miller tertidur. Suai Namun tanpa pikir panjang langsung menjentik telinga anak itu. Miller terbangun sambil memegangi telinganya. Dia tidak marah sama sekali. Melainkan langsung berdiri dan bersiap untuk pulang.

“Besok siang kita ke sini, yok?” ajak Miller. Dia nyaris terjatuh karena salah menginjak anak tangga. Barangkali dia masih setengah sadar.

“Kalau siang hari terlalu berisiko. Jika ketahuan kita tidak akan pernah diberi kesempatan ke sini lagi.”

Jawaban Suai Namun sedikit mengecewakan, tetapi itu jawaban yang terbaik. Lagi pula, langit malam tak kalah indah dengan laut biru. Apalagi malam ini terasa sangat hangat. Menyaksikan segitiga musim panas bersama mereka yang berarti bagiku.

***

Salah satu bab favoritku.

Jangan lupa vote and comment!

NEBULA [15+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang