Sekarang sudah masuk jam makan siang. Seperti biasa, Ivy dan Luna akan menawariku untuk bergabung dengan mereka. Aku menolak tawaran mereka. Memilih kembali ke asrama bersama Suai Namun.
"Kenapa tidak ikut mereka ke kantin?" tanya Suai Namun saat kami sedang di jalan menuju asrama.
"Sedang tidak lapar," jawabku.
Di jalan, kami bertemu Miller dan hanya melewatinya begitu saja. Bukan bermaksud jahat. Karena bertindak seolah tidak saling mengenal ketika bertemu di luar adalah aturan yang harus ditaati. Aturan tersebut merupakan aturan tidak tertulis yang dibuat oleh Miller. Dia tidak pernah mengatakan aturan itu secara langsung, tetapi sebagai teman yang baik. Kami harus lebih peka.
Sekitar dua menit berjalan. Langkah kami berhenti di depan pintu. Setelah pintu kamar berhasil kubuka. Kami masuk ke dalamnya. Meletakkan sepatu di rak dan menaruh tas masing-masing ke kolong meja belajar.
Saat aku dan Suai Namun sedang mengganti pakaian. Pintu kamar kembali terbuka. Munculah Miller dengan cengirnya itu menyapa dengan ramah, "Hai. Tumben kalian datangnya barengan?"
"Sebenarnya yang harus ditanyain itu si Eggy. Kenapa dia melewatkan makan siang bersama teman sekelasnya yang lain?" kata Suai Namun. Dia sudah mengganti seragamnya dengan pakaian yang lebih santai. Begitu pun denganku.
"Kamu ada kerja, kan hari ini? Aku mau bantu. Aku tidak punya kakak cewek, jadi aku terbiasa dengan pekerjaan rumah. Kalau masalah bersih-bersih aku bisa diandalkan. Yang paling penting, aku tidak perlu digaji. Tenang, kamu tidak perlu sungkan. Soalnya aku suka gabut kalau hanya di kamar saja," kataku. Mungkin ini adalah kalimat terpanjang yang pernah kucapkan padanya.
Baru saja Suai Namun ingin mengatakan sesuatu. Miller memotong lebih dulu, "Aku mau ikut."
"Kalian tidak perlu repot-repot," kata Suai Namun.
"Tidak ada penolakan. Pokoknya kami maksa," kata Miller dengan cepat.
"Oke, nanti malam aku ajak kalian keluar. Kenapa tidak bisa siang ini? Itu karena sangat berisiko untuk ketahuan."
Aku mengangguk puas, begitu pun dengan Miller. Aku yakin dia lebih nyaman keluar bersama Suai Namun di malam hari. Kalau dia keluar bersama kami kami sekarang. Tentu sangat berbahaya karena topeng yang dia sembunyikan selama ini akan berpotensi diketahui banyak orang. Fakta bahwa dia berteman baik denganku dan Suai Namun. Masih ingin ia sembunyikan.
Setelah dirasa tidak memiliki urusan lagi dengan kami. Suai Namun pun lekas pergi.
***
Mengikuti perintah Suai Namun. Aku dan Miller duduk di salah satu meja restoran tanpa memesan apa pun. Sedangkan Suai Namun sendiri sedang bekerja di dapur. Katanya dia baru akan membutuhkan bantuan kami sekitar jam sembilan nanti. Berarti, aku dan Miller harus menunggu satu jam lagi. Entah kenapa rasanya seperti disuruh menunggu oleh 'mama' yang lagi sibuk karena ada sedikit urusan.
Tidak banyak yang bisa kami lakukan. Hanya bermain ponsel dan sesekali membicarakan hal sederhana. Ketika sedang bersamaku, tidak akan ada topik pembicaraan yang mampu bertahan lama. Aku sungguh tidak pandai mengolah topik supaya menjadi pembicaraan yang lebih panjang. Aku kasihan pada Miller. Dia terus berjuang mengajakku ngobrol dengan selalu mencari topik baru.
"Kalau misalnya bawa duit. Kamu mau beli apa?" tanya Miller.
"Aku ikut saja," jawabku.
"Besok kalian ada pelajaran Matematika?"
"Ada, di jam kedua."
"Suka warna hijau atau biru?" Pertanyaaanya mulai ngelantur.
"Biru."
"Gantian dong. Kamu juga yang nanya."
"Aku tidak punya pertanyaan."
"Aku mau nanya. Nama kamu siapa?"
Mungkinkah dia berusaha melucu? Aku sedikit memperlihatkan garis senyumku dengan terpaksa. "Namaku Eggy."
Miller mulai menyerah. Dia tidak lagi memberiku pertanyaan. Sebenarnya aku bersyukur dia masih mau mengajakku berbicara. Pasti sangat lelah menghadapi karakterku yang sedikit mendekati aneh ini. Dan sebenarnya aku juga tidak mau seperti ini.
Sekali lagi aku menyakiti diri sendiri dengan perasaan negatif. Apa yang bisa mengalihkanku agar bisa berhenti berpikiran buruk. Mungkin mengamati sekitar bisa sedikit membantu. Uniknya, apa yang aku lihat di sekeliling kalah telak dengan apa yang aku cium. Banyak makanan dengan bau enak di sini. Semuanya masakan padang.
Setelah mengamati sekitar yang ternyata menyakiti perutku. Akhirnya aku memilih untuk sibuk dengan ponsel. Sambil berharap waktu bisa berjalan lebih cepat.
Tidak mengejutkan kalau ponsel memang sangat bisa diandalkan dalam hal memanipulasi waktu. Hingga tidak terasa sebentar lagi jam sembilan.
"Ayo ke dapur," kata orang yang kehadirannya sangat kami nantikan.
Aku dan Miller langsung berdiri. Kemudian lekas mengikuti Suai Namun dari belakang.
Masih di jalan. Suai Namun bertanya, "Malam ini, apa ada peristiwa langit?"
"Sepertinya tidak ada," balasaku.
"Oh, begitu. Padahal aku mau mengajak kalian ke suatu tempat. Tempatnya sangat pas untuk melihat langit malam."
Bola mataku berbinar dan merasa sangat antusias. Tiba-tiba saja kembali teringat sesuatu. "Ini September, kan? Di bulan ini seharusnya sangat cocok kalau mau melihat segitiga musim panas."
"Segitiga musim panas? Kedengarannya keren," Miller ikut menimpali.
Setelah mendapatkan ide bagaimana kami akan menghabiskan malam ini. Kami pun segera melaksanakan pekerjaan masing-masing. Aku dan Miller mencuci piring. Suai Namun membersihkan area sekitar meja makan dan menyapu lantai.
Pekerjaan kami ditargetkan selesai sebelum jam sebelas malam. Sehingga masih menyisakan banyak waktu untuk pergi ke tempat yang dimaksud Suai Namun. Sebenarnya aturan jam itu tidak mutlak sama sekali. Hanya saja kami bertiga punya kesamaan, yaitu jam 12 malam adalah batas normal untuk tetap terjaga. Lebih dari itu sudah seharusnya tidur.
***
Setelah selesai dengan pekerjaan. Kami lekas berjalan ke tempat yang dimaksud Suai Namun. Tempat tersebut searah dengan jalan menuju rumah Suai Namun. Sedangkan untuk jarak restoran dan rumah Suai Namun sendiri seharusnya tidak terlalu jauh jika menggunakan kendaraan.
Rumah Suai Namun semakin dekat. Itu berarti kami sudah kembali memasuki hutan. Harus siap berlari karena ada banyak sekali nyamuk. Beruntung aku sudah mempersiapkan diri dengan baik. Baju dan celana panjang yang kukenakan hampir seperti zirah yang tidak mudah ditembus.
Aku sedikit terkejut. Ternyata tempat yang kami tuju berada di atas bukit. Kami menaiki bukit kecil itu dengan langkah yang penuh kehati-hatian. Di siang hari, bukit ini pasti tampak seperti padang rumput hijau yang sangat luas.
Ada cahaya kuning di atas sana. Cahaya tersebut adalah tujuan utama kami. Belum juga benar-benar berada di puncak bukit. Mataku sudah begitu dimanjakan oleh pemandangan kerlap-kerlip lampu perkotaan. Jika memandang ke langit, akan tampak ribuan bintang yang bersinar terang.
"Cahaya kuning di sana. Itu adalah rumah satpam yang membantu kita waktu itu. Dulu aku suka duduk di teras rumahnya," jelas Suai Namun.
***
Vote and comment pleaseee!
KAMU SEDANG MEMBACA
NEBULA [15+]
Novela JuvenilUmurku 14 tahun, pecinta buku yang lumayan terobsesi pada benda langit. Dan, aku tidak terima, kenapa harus mendapat panggilan sehina itu? "Duda Miskin," ejek Miller sepupuku. Ya betul, ini kesalahanku. Semua dimulai saat malam, ketika Bella tiba-ti...