Pintu kamar digendor beberapa kali. Aku yang berencana untuk tetap tidur kini harus mengurungkan niat tersebut. Terlebih lagi, sorot bayang-bayang aneh terlintas di benakku.
"Iya, Bu," jawabku setengah sadar.
Aku menyibak selimut. Membenarkan posisi agar duduk sempurna. Melirik pintu sejenak, memastikan tidak ada gedoran kedua. Ya betul, Ibu sudah pergi. Lalu, beralih memandang ke arah jendela. Benda itu, sama sekali tidak terkunci.
Aku menunduk lemah, mengacak rambut frustrasi. Tidak terbayang sama sekali, malam yang bagiku penuh kesialan itu benar terjadi.
Aku menurunkan kaki sampai menginjak lantai. Beranjak mendekat ke arah jendela. Aku berdiri diam, memandang keluar dan sekilas melirik besi kecil pada jendela yang tidak melaksanakan tugasnya.
Beginilah, berusaha tidak peduli walau usahaku terbilang sia-sia. Aku mengangkat jendela tinggi-tinggi, mencondongkan kepala memerhatikan keadaan luar. Mengintip kondisi rumah Bella. Maksudku, mengintip keberadaan orangnya. Namun, kulihat hanya sapi yang mondar-mandir di pekarangan rumahnya.
Aku menelisik pagar rumah Bella yang ternyata tidak terkunci. Pantas saja, apa ini ulahku malam tadi? Kalau benar, bisa-bisa Bella diceramahi orangtuanya. Lihat itu, sudah ada dua tumpukan kotoran sapi yang mengisi pekarangan rumahnya. Dan, si pemilik rumah belum sadar. Mungkinkah masih tidur?
Jujur saja aku ingin menjenguknya. Tapi, entah kenapa rasanya sangat sungkan. Ada penyesalan, yang bagiku itu akan membuat Bella membenciku.
"Eggy, kamu belum siap-siap buat mandi?"
Aku membalikan badan. "Iya."
Hem, untuk sesaat aku kira Ibu sudah berdiri tepat di belakangku. Kan tidak lucu kalau kepergok memerhatikan rumah tetangga dengan sedikit melamun.
Aku segera beralih mendekat pintu. Menggeser kenopnya tanpa minat. Aku akan mandi sekarang, semoga air dingin bisa sedikit membuatku keluar dari lamunan menyedihkan tentang Bella. Ah, siapa yang paling menyedihkan? Tetap saja Bella.
👽♥️👽
Selesai dengan urusan mandi dan berpakaian. Aku tiba di ruang makan. Ayah duduk di kursinya sambil ditemani buku kecil dan pena. Aku menoleh pada Ibu yang baru saja meletakan piring lauk berisi ikan patin goreng di atas meja.
Ibu memandang Ayah dengan bibir miring. "Selesaikan makanmu dulu," katanya kemudian duduk bersama bunyi bising akibat lantai yang tergores kaki kursi.
Ayah melepas kacamata dan menyimpannya di balik saku. Namun, tak lama kemudian dia kembali mengambil kacamatanya. Dan kini, sudah lebih serius bersama buku kecil di atas meja.
Aku memberanikan diri untuk bertanya meski Ibu sudah menatapku sama menyebabalkan seperti tatapannya pada Ayah. "Apa yang, Ayah buat?"
Ayah menjawab tanpa menoleh ke arahku, "Sedikit revisi karakter utama di novel Ayah."
Ibu seperti hilang kesabaran. Dia berdehem panjang.
Oke, sebaiknya aku menurut dan mengambil nasi yang kurasa berada jauh dari jangkauan. "Ibu, bisa tolong ambilkan wadah nasinya?"
Tangan Ibu berpindah sedangkan matanya masih menatapku lekat. Dia menyodorkan wadah nasi yang kumaksud.
Baru saja ingin menyedok nasi ke piring. Wanita yang sedari tadi menatapku horror itu kembali bersuara, "Kenapa dengan dagumu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
NEBULA [15+]
Novela JuvenilUmurku 14 tahun, pecinta buku yang lumayan terobsesi pada benda langit. Dan, aku tidak terima, kenapa harus mendapat panggilan sehina itu? "Duda Miskin," ejek Miller sepupuku. Ya betul, ini kesalahanku. Semua dimulai saat malam, ketika Bella tiba-ti...