23| Kelas Pertama

19 4 0
                                    

Seisi auditorium bergemuruh ramai, menandakan akhir dari acara pembukaan. Ratusan pasang kaki secara teratur berjalan ke arah pintu keluar. Kepala sekolah dan rombongan guru keluar lebih dulu. Kemudian disusul oleh siswa kelas A yang berada paling dekat dengan pintu. Kebetulan aku dan Luna salah satu anggota kelas yang beruntung itu.

Bukan hanya Luna. Ternyata aku satu kelas dengan Suai Namun, tetapi aku tidak tahu keberadaan anak itu karena duduk di kursi paling depan. Akhirnya kuhabiskan jalan menuju kelas hanya bersama Luna.

Tidak seperti yang kubayangkan sebelumnya. Aku pikir hari pertama tidak akan ada kelas. Ternyata dugaanku salah. Hari pertama, kelas pertama, pelajaran matematika.

Menemukan ruang kelas bukanlah hal sulit karena kami sudah diberi bekal berupa denah sekolah, lengkap dengan tata tertib dan rangkuman prestasi yang pernah diraih sekolah. Sebenarnya aku sangat menantikan hari pendafataran kelas tambahan yang bisa dibilang sebagai bagian dari ekstrakurikuler, yaitu kelas astronomi.

Kalau dilihat dari rangkuman prestasi sekolah, sepertinya kelas astronomi tidak pernah menyumbang apa pun ke dalam list. Tidak tahu alasannya, mungkin karena kelas astronomi baru berdiri dalam beberapa tahun. Namun, tidak peduli ada atau tidaknya prestasi. Sebab tujuan utama kerja kerasku selama ini adalah untuk bisa bergabung di kelas astronomi.

Tidak terasa kami sudah sampai di ruang kelas. Ruang kelasnya tidak terlalu besar, tetapi mempunyai dua AC. Sungguh luar biasa. Anak kabupaten sepertiku pasti gugup saat disuruh menghidupkan AC tersebut.

"Kau duduk di mana, Eggy? Tidak mungkin kita duduk berdua," kata Luna.

"Iya aku tahu," jawabku yang masih berdiri di dekat pintu, sedangkan Luna sudah bergegas mencari tempat duduk. Aku tidak terlalu kaget dia cepat mendapatkan teman perempuan. Dia dan teman barunya itu duduk di bangku ujung nomor dua dekat dengan jendela.

"Mau duduk berdua?" tanya Suai Namun yang tiba-tiba saja muncul dan langsung merangkul bahuku.

"Boleh," jawabku sambil mengangguk.

Bangku di depan Luna masih kosong, sehingga aku dan Suai Namun yang mengisinya.

"Miller di kelas mana?" tanya Suai Namun sambil merapikan bukunya.

"Aku tidak tahu. Dia tidak telat kan?"

"Entahlah, aku pun tidak tahu. "

"Semoga saja," kataku pelan. Pagi tadi aku dan Suai Namun bangun jam 6, sedangkan Miller masih tertidur pulas dengan alarm ponselnya yang sudah berbunyi sekitar tiga kali.

Miller berhasil bangun setelah Suai Namun menarik kakinya. Lima detik pertama, Miller terbangun dengan normal. Tak lama, dia terperanjat kaget mendapati orang asing ada di kamarnya. Setelah kuceritakan semuanya, barulah Miller sedikit lebih tenang. Namun, dia kembali tidur dan meminta kami membangunkannya setelah kami berdua selesai mandi. Sepertinya Miller melupakan fakta, bahwa kami berdua sudah selesai dengan urusan kamar mandi dan tinggal berangkat saja. Apa boleh buat, Suai Namun kembali menarik kakinya dan sedikit berteriak kalau 10 menit lagi acara pembukaan akan dimulai. Begitulah cerita pagi ini.

"Gurunya datang," kata Suai Namun.

Guru matematika itu berwajah galak. Aku tidak tahu pasti kenapa kesan pertamaku mengatakan seperti itu. Entah karena cap guru matematika yang melekat padanya atau wajahnya yang memang kelihatan selalu cemberut. Dapat diketahui kalau guru tersebut masih berumur sekitar dua puluhan. Radarku mengatakan seperti itu, meskipun wajahnya tampak cemberut, aku tidak melihat ada garis halus di sana.

Guru matematika itu berjalan sangat cepat. Bukan caranya berjalan yang membuatku terdiam, tetapi cara dia yang masuk ke dalam kelas tanpa memberi salam dan langsung mengambil spidol. Dia menulis soal. "Siapa yang bisa mengerjakan ini?" tanyanya.

NEBULA [15+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang