Taxi online yang kami tumpangi berhenti di depan gerbang sekolah. Dari gerbangnya saja, sudah tampak jelas bagaimana berkelasnya sekolah baruku ini. Gerbang dengan cat putih biru dominan yang dihiasi dengan tulisan nama sekolah yang berwarna emas. Bagian paling atas gerbang, terdapat patung burung hantu.
Bukan kemewahan gerbangnya yang membuatku takjub, tetapi betapa tingginya pagar yang mengelilingi sekolah ini. Aku bahkan tidak bisa melihat bagaimana bentuk sekolahnya dari luar. Namun, aku masih bisa berasumsi kalau gedung sekolah baruku ini hanya memiliki satu lantai.
"Eggy, tidak mau turun?" tanya Luna sambil menaikan satu alisnya.
Aku sedikit terperanjat. Gerbang sekolah ini benar-benar mengalihkan perhatianku. Tidak menunggu diperintah dua kali. Aku langsung turun dari mobil. Kemudian disusul oleh Luna.
Aku langsung ke arah bagasi mobil sambil membantu pak sopir mengeluarkan beberapa barang bawaan. Kemudian Luna berinisiatif menyambut barang bawaan miliknya yang baru saja aku keluarkan dari bagasi mobil. Sedangkan Kak Lina, dia berjalan ke arah satpam sebelum akhirnya satpam tersebut membuka pintu gerbang.
"Terima kasih, Pak," kata Luna sambil tersenyum ramah.
"Iya, sama-sama," jawab sopir tersebut hingga akhirnya dia masuk ke dalam mobil dan meninggalkan kami.
Setelah selesai dengan urusan barang. Aku dan Luna kompak berjalan mendekati Kak Lina yang sudah lebih dulu masuk ke dalam. Tidak lupa sambil menyeret koper masing-masing, jangan lupakan tas super besar yang bertengger di bahuku.
Sepanjang perjalanan menuju ruang administrasi. Seperti orang pada umumnya, pandanganku tidak hentinya mengamati sekitar. Entah sekolah lamaku yang ketinggalan zaman atau sekolah ini yang terlalu modern. Aku benar-benar tidak bisa mengedipkan mata barang satu detik pun.
Benar dugaanku. Sekolah ini hanya satu lantai, tetapi ada satu gedung yang sangat mencolok. Dari luar aku sudah melihat gedung itu, tapi aku kira gedung tersebut bukan bagian dari sekolah karena letaknya yang terlalu jauh. Namun, setelah kuamati, gedung tersebut masih dikelilingi satu pagar yang sama dengan sekolah. Gedung tersebut kira-kira empat lantai, dan memiliki warna dinding biru putih dominan yang sama seperti gedung lain.
"Kamu penasaran dengan gedung yang tinggi itu, Eggy?" tanya Luna.
"Sangat penasaran," jawabku singkat.
Tidak terasa kami sudah tiba di ruang administrasi. Kami bertiga berdiri berjejer menghadap satu meja, meja yang tersebut diisi oleh perempuan paruh bayah yang panjang rambutnya tidak melebihi leher. Dia wanita berkacamata dengan hidung mancung, tetapi sedikit lebar. Wanita garang kalau dinilai hanya dari wajahnya saja.
"Satu kamar diisi oleh dua atau tiga orang. Kebetulan kalian masing-masing kebagian satu kamar yang hanya diisi dua orang," kata wanita itu.
Aku sedikit bersyukur karena awalnya kukira satu kamar minimal dihuni empat orang. Berbagi kamar adalah sesuatu yang melelahkan, tapi dalam kasusuku ini, sungguh harus disyukuri.
"Ini kunci kamarnya, lengkap dengan gantungan kunci yang sudah diberi nomor. Laki-laki arah kanan dari sini, perempuan arah kiri," jelas wanita itu sambil menunjukkan arah menggunakan tangannya.
Aku dan Luna mengambil kunci kamar yang diletakkan wanita itu di atas meja. Aku memperhatikan nomor kamar yang tertera pada gantungan kunci. Kemudian secara bergantian melihat nomor kamar yang ada pada gantungan kunci milik Luna.
"Terima kasih, Buk," kata Kak Lina.
Kami bertiga berjalan menjahui ruang administrasi, dan berhenti di persimpangan. "Eggy, kamu bisa sendiri, kan? Maaf Kak Lina cuman bisa ngantar kamu sampai sini," kata Kak Lina.
KAMU SEDANG MEMBACA
NEBULA [15+]
Novela JuvenilUmurku 14 tahun, pecinta buku yang lumayan terobsesi pada benda langit. Dan, aku tidak terima, kenapa harus mendapat panggilan sehina itu? "Duda Miskin," ejek Miller sepupuku. Ya betul, ini kesalahanku. Semua dimulai saat malam, ketika Bella tiba-ti...