17| Ujian Seleksi

41 8 0
                                    

Masih tersisa satu jam. Kesempatan ini kupakai untuk berkeliling di sekitar lokasi ujian. Tidak di sekeliling sih. Soalnya aku dan Luna lumayan jauh dari ruang ujian. Lagi pula, bangunan di sekitar sini sangat unik. Atapnya berbentuk segitiga dengan warna bagunan dominan abu-abu.

 Atapnya berbentuk segitiga dengan warna bagunan dominan abu-abu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lokasi ujian kami di salah satu universitas yang cukup terkenal. Aku pun langsung jatuh cinta dengan universitas ini. Suasananya sejuk karena di sekitar bukit. Lalu, tata letak bangunan yang bernuansa Eropa. Jangan lupakan kehijauannya nan tetap terjaga.

Sekarang masih jam 8. Kurang satu jam lagi sebelum ujian. Selagi menunggu. Samar-samar bayangan masa depan sudah tersusun rapi di otakku. Kalau nanti berhasil diterima ke SMA favorit. Setelah lulus aku mau melanjutkan dunia perkuliahan di sini.

"Luna, mau enggak kuliah di sini?"

Dia tidak menjawab. Terlebih dulu mencari tempat berteduh, dan duduk di bawah pohon. Luna membuka tutup botol air mineralnya. Meminum beberapa teguk. "Enggak tahu. Tapi aku punya target lolos kedokteran."

Aku terkejut. Karena baru mengetahui hal itu. Ketika belajar di rumahku. Luna sama sekali tidak menunjukkan minatnya terhadap Biologi. Lebih pintar Matematika padahal.

"Kenapa?" tanyaku.

"Karena di keluarga besar. Hanya aku yang penyakitan."

Luna sakit apa? Aku tak berani bertanya. Takut membuatnya sedih. Meski terkadang menceritakan kejadian sedih kepada orang lain sebenarnya bisa sedikit membantu. Walau sebelum itu, lebih baik Luna sendiri yang menceritakan.

Luna mengecek ponselnya. "Kata Kak Lina kita mainnya kejauhan." Dia pun berdiri, kemudian memasukan ponsel ke dalam tas.

Aku mengangguk pelan. Berjalan di belakangnya seraya ditemani perasaan kecewa. Masih sangat penasaran tentang Luna. Luna yang mudah akrab dan cenderung ekstrover. Ternyata banyak menyimpan rahasia.

👽❤️👽

Satu ruangan diisi 16 orang. Ada tiga ruangan yang terpakai. Dan itulah orang-orang yang hendak memperebutkan 100 kursi di salah satu SMA favorit Indonesia. Belum lagi provinsi-provinsi lain yang biasanya mendaftarkan lebih banyak calon siswa. Setidaknya 1.000 pesaing dari seluruh Indonesia.

Aku kebagian kursi paling depan. Sementara Luna di ruangan lain. Sungguh tidak bisa menahan debar jantung. Harus menunggu beberapa menit lagi sebelum soal ujian keluar. Sangat sulit dipercaya. Satu bulan sudah kusediakan semuanya untuk ini. Tapi sekarang hanya butuh waktu dua jam untuk mengakhiri semuanya.

Sub tes pertama adalah psikotes. Mirip-mirip soal yang mengukur tingkat IQ seseorang. Kemarin Kak Lina sempat mengingatkan tentang ini. Jangan dianggap remeh. Tapi aku begitu fokus pada Matematika dan IPA.

Kami pun diperbolehkan mengakses soal. Pikiranku kacau tak kala melihat soal pertama yang ide untuk penyelesainnya saja aku tak punya.

Dengan sedikit gemetar. Aku menganti ke soal selanjutnya. Semoga dipermudahkan. Dan untunglah aku bisa menjawab. Walau membutuhkan waktu agak lama.

Sampai akhirnya tersisa beberapa menit lagi. Aku hanya mampu menjawab 8 dari 15 soal. Terpaksa sisanya mem-block seluruh opsi A. Astaga, ini semua salahku. Andai tidak meremehkan sub test ini.

Kami diberi jeda satu menit setelah usai mengerjakan satu sub test. Aku berusaha untuk melupakan apa pun tentang soal yang kulihat tadi. Menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya. Kemudian beralih memerhatikan orang di sebelahku. Dia terlihat jauh lebih panik. Pundaknya naik turun mengikuti ritme napasnya yang begitu cepat. Jilbab putih yang dipakainya juga kelihatan basah di bagian belakang.

"Sub tes Matematika sebentar lagi," kata pengawas yang sepanjang waktu tak pernah bosan berkeliling itu.

Aku menatap layar komputer. Menuju pertempuran selanjutnya.

👽❤️👽

Dua minggu ini banyak kuhabiskan di perpustakaan. Aldebaran yang dulu sempat shock enggan untuk ke perpustakaan demi menghindari bapak berkepala plontos. Kini sudah terkumpul nyalinya. Ditambah, dia juga lumayan ketularan buku. Meskipun bacaannya tak jauh dari cerita anak. Tapi aku sudah sangat senang dia mau menemaniku ke sini setiap hari. Beda dengan Luna yang datang hanya kalau dia mau.

Agaknya ratusan kali bola mata ini melirik ponsel yang berada tak jauh dari dua tumpukan buku di dekatku. Sungguh tidak bisa fokus ke dalam bacaan kalau kondisinya begini. Karena beberapa menit lagi. Penentuan apakah aku akan meninggalkan desa atau tetap bersama tetangga-tetanggaku yang tidak sopan.

Alarm di otakku berbunyi usai melihat jam dinding perpustakaan. Cepat-cepat memanggil Aldebaran untuk memegangi ponselku.

"Caranya gimana?" tanya Aldebaran sedikit menggaruk tengkuk lehernya.

Aku meraih kembali ponsel dari tanganya. Dan log in di website yang sudah diberitahukan waktu itu. "Ini, tinggal pencet aja nomor yang aku sebutin. Terus klik yang warna hijau di bawahnya."

Aldebaran mengangguk. Mengambil ponsel dari tanganku yang sedikit gemetaran. "Oke, sebutin, Kak," katanya.

Aku mendikte angka per angka yang telah kusalin di kertas kecil. Aldebaran mengikuti dengan begitu lancar. Sampailah di bagian terakhir. "Eh itu benar, kan ngisinya di kolom nomor ujian?" tanyaku.

"Iya kayaknya."

"Kalau sudah. Klik yang warna hijau."

"Sudah dari tadi."

Badanku terdorong ke belakang, bersamaan dengan kursi yang kududuki. Detak jantung sudah sangat tak terkontrol. Benar-benar takut mendengar kata apa yang akan keluar dari mulut Aldebaran setelahnya.

"Kakak lulus."

Aku berteriak keras. Melompat kegirangan dan dengan cepat mengambil lagi ponselku. Awalnya kukira hanya mimpi. Setelah dicek berulang-ukang ternyata memang lulus. Sulit dipercaya, kalau ingat kejadian saat di ruang ujian. Jujur aku kesulitan di banyak soal.

"Aldebaran, ayok pulang."

Ini yang aku suka darinya. "Ayok."

Sebelum menuruti keinginan terbesarku. Kami lebih dulu merapikan buku-buku yang kami baca. Setelahnya berpamitan kepada penjaga perpustakaan yang terlihat ikut senang atas keberhasilanku.

"Besok datang lagi," katanya bersuara serak khas orang berumur.

Dari luar pagar aku dan Aldebaran mengangguk. Kemudian memutar badan ke arah jalan dan pergi dengan cepat. Langkah Aldebaran yang kecil terlihat sulit mengimbangi.

Aku berhenti. Merasakan saku celana yang bergetar. Mengeluarkan ponsel dan mengangkat telepon dari Ayah. "Iya?"

"Eggy, kamu bisa pulang sebentar?" tanya Ayah dari seberang.

"Eggy, kamu bisa pulang sebentar?" tanya Ayah dari seberang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Kejutannya bukan dari hasil pengumuman. Tapi dari yang mau diomongin oleh Ayah Eggy 😁

NEBULA [15+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang