Setelah aku dan Suai Namun menyelesaikan pekerjaan di restoran. Seperti rutinitas yang tidak boleh dilewatkan. Kami mampir sebentar ke pondok di atas bukit. Meskipun langit malam tampak mendung. Hal itu tidak mengurungkan niat kami untuk tetap pergi ke sana. Seolah semua lelahmu karena aktivitas sepanjang hari hanya akan terbayar jika duduk santai di teras pondok.
Kali ini Miller tidak ikut bersama kami. Dia ada ujian Kimia besok. Sehingga memaksanya belajar sepanjang malam. Sedikit mengejutkan, bukan? Orang yang kesan pertamanya tidak pernah lepas dari ponsel seperti Miller masih mau begadang hanya untuk belajar. Rasanya bukan hal mustahil, jika saat ujian seleksi masuk kemarin dia belajar sama kerasnya. Tuduhan beberapa orang tentang dia yang hanya mengandalkan uang orangtua mungkin sudah seharusnya ditarik kembali.
"Bintang-bintangnya tertutup awan," kata Suai Namun.
"Suai Namun," panggilku.
Dia menoleh sebentar. "Apa?"
"Kamu ingat dengan apa yang pernah kamu katakan saat kita pertama kali bertemu?"
Suai Namun berhenti menatap langit. Dia sekali lagi menoleh ke arahku. "Bintang-bintang di langit adalah orang yang dulu pernah kita kenal."
Aku mengangguk. "Iya. Jadi siapa orang yang pernah kamu kenal itu?"
"Adikku. Dan lihat awan mendung itu. Mungkin dia lagi mengurung diri dan tidak mau dilihat olehku."
"Bukan mengurung diri, tapi sedang tidur. Dia terlalu bersenang-senang hari ini."
Seulas senyum terbit di bibirnya. "Aku harap juga begitu."
Suasana menjadi hening. Hanya diisi deru ombak dan hembusan angin. Angin di tepi pantai sangat kencang dan dinginnya sampai menusuk kulit. Padahal kemarin Miller sudah memberi ide untuk membawa selimut tebal setiap kali ke pondok. Seperti biasa, tidak ada yang mempedulikannya.
"Apakah menurutmu Luna cantik?" tanya Suai Namun.
Pertanyaan yang sangat tiba-tiba. Aku tidak mengerti ke mana maksud dari pertanyaan itu. Atau sebenarnya aku tahu, tetapi menolak untuk menyadarinya. "Dia cantik. Kenapa bertanya seperti itu?"
Suai Namun diam selama beberapa detik. Sebelum akhirnya menjawab, "Aku jatuh hati pada Luna."
Suai Namun sedikit salah tingkah usai mengungkapkan perasaannya. Bahkan di tengah redupnya lampu pondok, aku masih dapat melihat pipinya yang sedikit memerah. Entahlah. Tanggapan seperti apa yang Suai Namun harapkan dariku. Dan bagaimana caraku menanggapinya. Aku tidak bisa berpura-pura mendukung perasaan Suai Namun terhadap Luna. Ada rasa kecewa pada diriku.
"Maaf. Tapi aku juga jatuh hati pada Luna," kataku. Kalimat itu terlepas begitu saja.
Aku tidak tahu apa yang ada dipikirkan Suai Namun. Dia tersenyum kepadaku. "Oh, begitu ya? Aku bercanda saja tadi. Sebenarnya aku tidak punya perasaan apa pun pada Luna."
Aku tidak merasa lega sama sekali saat mendengar apa yang diucapkan Suai Namun. Tatapannya seolah mengatakan hal lain. Entah kenapa ini sangat memuakkan bagiku.
"Kenapa kau seperti itu?" tanyaku.
"Maksudnya?"
"Jangan menghindari kontak mata jika kau sedang berbicara dengan orang lain. Aku mau jawaban jujur. Apa kau menyukai Luna?"
Suai Namun menghembuskan napas pelan. "Aku tidak suka Luna," ucapnya. Sekarang dia seolah berusaha keras menjaga kontak mata denganku.
Aku memalingkan wajah. "Omong kosong. Aku tidak mau kau mengalah seperti ini. Mari bersaing dengan adil."
KAMU SEDANG MEMBACA
NEBULA [15+]
Teen FictionUmurku 14 tahun, pecinta buku yang lumayan terobsesi pada benda langit. Dan, aku tidak terima, kenapa harus mendapat panggilan sehina itu? "Duda Miskin," ejek Miller sepupuku. Ya betul, ini kesalahanku. Semua dimulai saat malam, ketika Bella tiba-ti...