25| Rival

23 4 0
                                    

Kelas Matematika bersama Pak Munzir telah selesai. Pertanda akhir dari kegiatan pembelajaran hari ini. Di balik cara mengajarnya yang selalu berhasil memacu adrenalin semua siswa di kelas. Pak Munzir terbilang baik karena hanya dia guru yang tidak pernah memberi pekerjaan rumah. Meskipun beberapa siswa telah buta hatinya akibat dari cara mengajar Pak Munzir yang terbilang cukup ekstrem. Sehingga satu-satunya kebaikan yang dimiliki Pak Munzir itu tidak berarti sama sekali.

"Makan siang bareng, yok. Mau ke kantin?" tanya teman sebangku Luna. Namanya, Divya. Orang-orang akrab memanggilnya Ivy.

"Boleh. Kalian berdua mau ikut?" tanya Luna pada kami.

"Aku tidak bisa. Masih ada urusan," jawab Suai Namun sambil merapikan buku-bukunya. Aku tebak dia hanya akan mampir sebentar ke asrama. Setelah itu dia akan pergi. Tidak tahu ke mana.

"Urusan apa?" tanya Luna.

Aku yakin pertanyaan itu akan sia-sia karena aku sudah berulang kali menanyakan hal yang sama. Atau bisa saja Suai Namun punya versi jawaban berbeda terkhusus untuk Luna. Aku menantikan jawabannya.

"Ada, deh," jawab Suai Namun. Dia memberi jawaban yang sama persis seperti saat aku bertanya padanya. Suai Namun memasangkan tas kecil di salah satu bahunya. "Aku pergi dulu," katanya yang kemudian lekas meninggalkan ruang kelas.

"Eggy ikut?" tanya Luna.

"Boleh, deh."

Kami berjalan ke luar kelas menuju kantin. Kantinnya lumayan jauh. Satu-satunya akses yang dekat dengan kelas kami hanya ruang guru. Akses yang dekat dengan ruang guru itu apa bisa dibilang salah satu kelebihan? Kurasa semua manusia di bumi ini sepakat kalau hal itu tidak pantas masuk dalam list yang harus disyukuri.

Ke kantin bersama dua perempuan yang berjalan di depanku ini bukanlah kali pertama. Sebenarnya, setiap hari aku selalu bersama mereka. Laki-laki yang tidak bisa olahraga, tidak pernah bermain game online, dan tidak pandai bergaul ini sangat bergantung pada dua perempuan di depannya agar terkesan memiliki teman. Apa yang terjadi jika aku tidak satu kelas dengan Luna? Sungguh hari-hari yang penuh kesepian. Mau mengandalkan Suai Namun sepertinya percuma. Anak itu tidak pernah terlihat batang hidungnya di sekitar sekolah kecuali saat ada kelas. Di asrama pun dia selalu tiba larut malam, dan langsung tidur begitu saja. Dia pulang dalam keadaan sangat lelah. Aku tidak tega bertanya dari mana dia.

Sedangkan Miller. Dia ada di kelas yang berbeda denganku. Kami seolah berteman hanya kalau sedang di asrama. Aku sering bertemu dengannya di jalan menuju kantin, tetapi dia seolah tidak mengenalku. Aku juga malas menanyakan sikap anehnya itu. Jadi, ikuti saja cara mainnya.

Kami tiba di kantin dan langsung duduk di kursi yang tersedia. Setiap siswa dijatah makan gratis dua kali sehari. Namun, untuk jenis minuman manis dan camilan, harus bayar sendiri. Dua anak perempuan yang duduk di depanku ini tidak pernah lupa untuk memesan mochi. Bosan dengan makanan kenyal itu, mereka menggantinya dengan bakpau.

"Mainnya cuman sama cewek? Tidak punya 'anu', ya?"

Orang yang baru saja mengatakan hal buruk itu namanya Rival. Dia laki-laki berbadan tinggi tegap yang waktu itu ada di kelas Astronomi. Aku dan Luna tiga kali bertemu dengannya di kelas Astronomi, tetapi tiga pertemuan itu tidak berarti apa-apa terhadap hubungan kami dengannya. Di kelas, dia seolah tidak menganggap kami ada. Aku tidak menyangka, kalimat buruk yang baru saja diucapkannya adalah kalimat pertama yang dia ucapkan secara langsung kepadaku.

"Tidak sadar diri. Mulutmu itu yang kayak cewek!" sentak Ivy sambil berdiri dari tempat duduknya.

Rival dan dua temannya tidak menggubris. Mereka langsung pergi begitu saja. Salah satu teman Rival mengacungkan jari tengahnya pada kami. Ivy tidak tinggal diam, dia balas mengacungkan jari tengah dengan kedua tangannya.

Dua teman Rival yang tadi salah satunya adalah Miller---bukan yang mengacungkan jari tengah, yang mengacungkan jari tengah aku tidak tahu namanya. Benar-benar tidak habis pikir. Apa yang ada di isi kepala mereka. Terutama Miller. Maksudku, walaupun dia tidak melakukan apa-apa. Setidaknya dia bisa meminta temannya itu untuk tidak berkata buruk. Apalagi perkataan buruk itu ditujukan padaku. Jangan-jangan Miller tidak mengganggapku teman sama sekali?

"Aku dan tiga orang tadi satu sekolah waktu SMP. Dari dulu hobi mereka memang suka membully orang," kata Ivy. Suaranya nyaris tidak jelas karena berbicara sambil mengunyah.

"Walaupun sukanya membully. Pasti  mereka tidak sembarangan membully orang, kan?" tanya Luna.

Aku setuju dengan pertanyaan Luna. Aku sangat penasaran alasan di balik perangai aneh Rival.

"Kalian satu kelas di kelas Astronomi, kan?" tanya Ivy. Dia masih berbicara sambil mengunyah.

"Iya," jawabku.

"Rival pasti menganggap kalian saingannya. Anak itu memang kompetitif, tapi kompetitif yang dalam artian mau melakukan hal apa pun agar bisa menang. Termasuk cara curang dan jahat."

Meskipun Ivy menjelaskan dengan mulut penuh. Beruntung aku masih dapat menangkap maksudnya dengan jelas. Sekarang aku mengerti. Rival punya alasan yang cukup masuk akal, tetapi tidak dapat diterima. Melakukan apa pun demi menang? Itu berarti dia bisa saja berpikir untuk membunuhku. Sekarang aku pun dapat memahami alasan kenapa Luna menghindari persaingan ketat yang terjadi di kelas Matematika. Namun, sialnya dia. Di kelas Astronomi Luna kembali masuk ke lingkaran mengerikan itu karena ada anak yang bernama Rival.

"Terus, bagaimana dengan kalian berdua saat satu sekolah dengan Rival dulu? Kalian dibully juga?" tanya Luna.

Ivy berhasil menghabiskan mochi terakhir miliknya, dan membuang sisa bungkus ke tempat yang tidak jauh dari tempat kami duduk. "Kalian berdua? Maksudnya Suai Namun?" tanya Ivy.

"Iya," jawab Luna.

"Beruntung kami berdua tidak pernah satu kelas dengan Rival. Dan lagi, di sekolah kami tidak ada sistem juara umum."

Aku dan Luna mengangguk berbarengan.

"Kalau Rival berhasil masuk ke sekolah ini aku tidak terkejut sama sekali. Tapi, dua orang temannya itu kok bisa-bisanya masuk. Mereka bukan yang bodoh sekali, tapi bukan yang pintar juga. Aku saja yang peringkat dua di SMP masih beruntung bisa masuk sekolah ini," kata Ivy.

"Jangan berpikiran buruk dulu. Siapa tahu mereka baru serius belajar saat mendekati hari ujian seleksi," balas Luna.

"Bagaimana caranya agar tidak berpikiran buruk? Selain punya kemampuan otak yang biasa saja, mereka bertiga tuh terkenal di sekolah karena punya orangtua yang sangat kaya," kata Ivy. Dia fokus bercerita, tapi tangannya diam-diam mengambil mochi milik Luna. "Kecuali Rival, dia pintar dan juga kaya. Kalau saja tidak ada yang salah dengan sikapnya. Mungkin aku sudah naksir sama dia," sambungnya.

"Cie, Ivy. Serius tidak naksir?" olok Luna sambil menepis tangan Ivy yang mau mencuri mochi miliknya.

Ivy menarik tangannya yang berhasil ditepis oleh empu yang punya mochi. Ivy menjawab pertanyaan Luna sambil menggeleng, "Mana mungkin aku naksir sama Rival? Yang paling mungkin itu kalian berdua. Pasti salah satunya ada yang naksir. Habis kalian, nih kemana-mana selalu berdua." Ivy menatapku dengan lekat. "Eggy, kamu pasti naksir sama Luna?"

Aku menggeleng dengan cepat. "Mana mungkin. Aku dan Luna selamanya akan berteman. Sedikit pun aku tidak akan pernah kepikiran untuk suka sama dia."

Ivy berdeham panjang sambil mengerucutkan salah satu sudut bibirnya. Ivy beralih menoleh ke arah Luna. "Kamu sendiri, Luna bagaimana? Apa kamu pernah menaruh perasaan sama Eggy?"

Luna hanya diam.

***

Vote and comment pleaseee!

NEBULA [15+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang