tiga belas

762 127 124
                                    

Semilir angin serta awan mendung seolah menjadi penghantar Junmyeon pada duka dan kesedihan, berusaha untuk tegar dihadapan para tamu yang hadir diupacara kematian Ibunya. Jika bukan dirinya yang menguatkan Yerim, lalu pada siapa Yerim akan bersandar. Hanya dirinya yang tersisa di dunia ini, hanya dirinya tempat untuk Yerim bersandar dan mengeluarkan segala kesedihannya. Hanya dirinya yang menjadi keluarga bagi Yerim.

Tidak salah jika Junmyeon masih bisa bersikap tegar, berbeda dengan Yerim yang masih menangis bahkan pingsan saat acara kremasi berlangsung. Namun yang masih menjadi pertanyaan bagi Junmyeon adalah dimana Joohyun ?
Apakah dia masih menaruh amarah padanya, bahkan disaat Ibunya telah tiada.
Apakah Joohyun sama sekali tidak mau mengantar Ibu Junmyeon yang sudah menganggap Joohyun sebagai putrinya sendiri, apakah marahnya sangat besar padanya ?

Tidak bisakah dirinya hadir, setidaknya sebentar. Hanya sebentar, Junmyeon hanya ingin melihat wajahnya sebentar saja jika Joohyun benar-benar marah padanya.
Jika tidak, izinkan Junmyeon untuk mengeluh pada Joohyun dan mengatakan semua kesedihannya.
Mengatakan jika dirinya tidak setegar apa yang orang-orang katakan, nyatanya Junmyeon ingin menangis.

Namun pada kenyataannya, bahkan saat rembulan sudah hadir dan menyinari malam yang gelap. Junmyeon sama sekali tak melihat Joohyun diantara banyaknya tamu yang hadir.

Junmyeon membuka pintu kamar Yerim, memastikan apakah Yerim sudah tidur. Dan netranya menangkap adiknya itu terlelap dengan memeluk figura. Kedua kaki Junmyeon melangkah mendekat, menarik selimut untuk menyelimuti tubuh Yerim yang meringkuk. Pandangan Junmyeon beralih pada wajah Yerim yang bengkak karena terlalu banyak menangis, diusapnya perlahan pipi Yerim seolah takut jika Yerim akan pecah.

"Oppa akan selalu berada di samping Yerim, Yerim tak akan sendiri karena ada oppa bersamamu." bisik Junmyeon, kemudian mengecup kening Yerim perlahan sebelum meninggalkan kamar Yerim.

Junmyeon mengusak rambutnya kasar sembari melangkah dengan lunglai menuju kamar Ibunya. Parfum milik ibunya langsung menguar diindra penciuman Junmyeon ketika pintu kamar berhasil dibuka.

Mengapa takdir seolah mempermainkannya, mengapa kedua orang tuanya cepat pergi dari kehidupannya begitu saja bahkan sebelum dirinya membalas jasa kedua orang tuanya.

Junmyeon duduk bersandar pada dinding, pria itu menangis dalam diam ketika ingatannya kembali pada saat dimana Ibunya masih sehat, bagaimana Ibunya memarahinya karena dirinya yang pada saat masih sekolah itu jahil pada Yerim atau bahkan mencuri ce...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Junmyeon duduk bersandar pada dinding, pria itu menangis dalam diam ketika ingatannya kembali pada saat dimana Ibunya masih sehat, bagaimana Ibunya memarahinya karena dirinya yang pada saat masih sekolah itu jahil pada Yerim atau bahkan mencuri cemilan milik Yerim.

Dan kini semua itu hanya bisa Junmyeon kenang dalam ingatan dan hatinya.

Tangan Junmyeon merogoh saku celananya untuk meraih ponselnya, jarinya menari di atas layar touch screen mencari nomor kontak milik Joohyun. Berharap jika malam ini Joohyun berbaik hati untuk mengangkatnya dan mendengarkan semua kerisauannya, semua rasa takut yang sedang hinggap di hatinya.

Namun semuanya hanya harapan, karena yang terdengar hanyalah suara operator yang mengatakan jika nomor tidak dapat di hubungi.

🍁🍁🍁

My LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang