"Buk. Ini Uma tahu. Ini namanya spaghetti. Persis seperti yang Ibuk bawa di puasa pertama!" ungkap Uma memberi informasi kalau-kalau si Ibuk lupa nama jenis makanan ini.
Bagaimana tak persis? Ini spaghetti langganan bapak perumahan yang sedang duduk di depannya.
"Sst ... Uma bisa diem nggak? Jangan malu-maluin deh!" sambar Aim.
"Memang kenapa, Bang?"
"Liat! Semua orang jadi liatin kita. Kayak orang katrok baru makan pertama kali di warung bagus," bisik Aim.
Ya, ini pertama kalinya mereka makan di 'warung bagus' dengan semilir AC yang tak akan membuat mereka kegerahan meski kepedasan. Biasanya Aim dan Uma mentok diajak makan di warung tegal kala Naya gajian. Atau pilihan lain, Naya akan titip berbelanja bahan mentah pada Rustini untuk ia masak sebagai sarapan spesial. Layaknya resep di radio pun majalah bekas yang Naya pungut dari tetangganya, si pengepul rongsok.
Mata Uma mengedar mengamati sekitar.
Ia sontak berusaha menduplikasi tingkah laku pengunjung lain.
Mereka makan dengan tenang. Tak ada ekspresi berlebihan seperti Uma yang baru pertama kali duduk di sini. Uma dan Aim saling pandang lagi. Mereka mengangguk. Oke, mereka akan menjaga sikap. Agar tak mempermalukan Tuan Laksa.
Padahal Laksa tak peduli.
Dua anak itu tak tahu saja jika Laksa sedang menyembunyikan salah tingkah bisa berada satu meja makan dengan seorang perempuan manis, dan dua anaknya.
Dari ujung sedotan yang dimiliki warung bagus ayam goreng dengan menu spaghetti di dalamnya, mereka terlihat sangat kompak bagai keluarga bahagia beranak cukup dua. Keluarga Berencana barangkali?
Menutupi canggung, Laksa makan dengan khidmat. Sesekali, ia membuang pandang asal tak bertubrukan dengan pasang mata indah Naya.
Bukan hal aneh jika Laksa menaruh ketertarikan pada Naya. Semua lelaki jika disodorkan Naya pasti juga mau.
Kulit putih bersih, badan sintal tertutup rapat oleh baju longgarnya, senyum Naya manis, mata kemilau bak mutiara, tak pernah bau keringat karena ia jaga benar kebersihan, sifat lemah lembut, tak pernah membantah, dan taat agama.
Minusnya mungkin ia bodoh atau penakut atau entah, Laksa tak bisa menebak. Beberapa lain, pandangan orang tentangnya yang janda menjadi salah satu pertimbangan banyak keluarga di desa untuk meminang Naya. Padahal, tak ada yang bisa Naya lakukan untuk mencegah status itu tersampir padanya. Kematian suami Naya adalah ketetapan Allah.
"Mau tambah?"
Laksa menawari dua bocah kelaparan yang telah kosong piringnya.
"Tuan kalau bawa pulang boleh nggak?"
Mata Naya membola. Lagi, ia membekap mulut si kecil. Kemana sopan-santun yang telah Naya ajarkan bertahun-tahun lamanya pada Uma?
Kembali lagi pada jawaban sebelumnya.
Satu, urat malu Uma belum serta-merta sempurna selama 7 tahun.
Atau dua, anak ini sedang mempraktekkan ajaran Naya soal kejujuran alih-alih berbohong demi kesopanan?
---------------
"Nay, Bu Sukma tadi kesini 'kan? Ngomong apa?"
Rustini datang keesokan hari, sebagai perwakilan ikatan asisten rumah tangga almarhum Tuan Latif. Menyampaikan uang jenguk yang mereka kumpulkan. Tak banyak, tapi itu justru yang Naya butuh.
"Tanya kabar aja, Mbak. Katanya saya boleh cuti sesembuh saya. Kalau sembuhnya lebih dari seminggu ya nggak apa-apa."
Tak hanya kabar. Alih-alih memberi uang yang akan merepotkan Naya jika harus berbelanja lagi, Bu Sukma mengirim bahan makan untuk bertahan selama seminggu. Telur, daging ayam, tahu, tempe, hingga panenan sawi hidroponik, juga kentang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pungguk Memeluk Bulan (FULL)
Spiritual[Juara Utama 1 Lomba Menulis KBM APP Ramadhan 2021] #1 generalfiction #1 baper #1 bucin #1 spiritual #1 Islam #2 chicklit #22 roman Naya, Kusuma, dan Ibrahim, adalah tiga sosok manusia yang hidup di rumah kontrakan dengan atap bocor. Di sisi lain ke...