27. Bubur Hambar di Panci

11K 2.2K 40
                                    

Naya tak langsung pulang ke Gunung Jati hari itu juga. Ia masih mengundur beberapa hari lagi. Memastikan kebutuhan Mak dan Arini di rumah. Pun menitipkan mereka pada Hasbi dan para tetangga baik Mak.

Menaiki bus dua bangku untuk bertiga, tak senyaman yang Aim rasa kala mengendarai mobil Laksa. Ia menahan sesak sebaik mungkin, demi sang Ibu yang harus mengirit sisa gaji agar sampai bulan depan.

Badan terasa remuk redam. Bagai pulang sehabis adu jotos. Ngilu dimana-mana. 

Naya membuka pintu yang kini punya lubang baru sebesar badan tikus di pojok bawah, setelah rumah ditinggal pergi sang pemilik sekitar satu minggu lebih.

Saat Naya masuk, para penghuni sementara heboh. Suara gubrak serempak menciptakan bising. Hewan warna abu kecil berekor panjang itu langsung bubar jalan. Ternyata, mereka menjatuhkan panci dikagetkan kedatangan penghuni aslinya.

"Ya Allah, Buk. Tikusnya pesta, waktu kita ke Ciamis!" seru Aim sudah memegang sapu ijuk.

"Ihhh ... Uma mau beli jepit tikus lagi, Buk. Satu kayaknya nggak cukup!" kesal Uma.

"Ibuk bersihkan kamar saja dulu ya. Biar kalian bisa tidur nyaman."

Naya menuju kamar. Mengambil sprei dan sarung bantal baru dari lemari dan menggantinya pada kasur dan bantal.

--------

Hari telah malam. Risma yang biasa pulang melewati gang kontrakan Naya, dikejutkan satu pemandangan yang berbeda. Lampu teras Naya kembali menyala.

Tak sabar lantaran ia juga adalah anggota grup WhatsApp yang kelewat penasaran akhir-akhir ini dibuat oleh Kris yang tak lagi memberi informasi, Risma turun dari motor Astrea bututnya. Mengetuk pintu renta rumah Naya.

"Risma? Maaf ..  maaf .. masuk yuk, Ris?"

Naya membelalak mendapati Risma telah berdiri di depan rumahnya.

"Eh nggak perlu. Aku itu kan biasanya lihat lampu kamu mati. Ini nyala. Makanya penasaran udah pulang belum. Alhamdulillah sudah pulang."

"Iya baru sampai tadi sebelum Maghrib. Mau ngeteh dulu, Ris?"

"Aku udah kenyang. Kan baru aja buka tadi. Eh iya, Nay? Kamu udah dapet telepon dari Mbak Rus? Pak Laksa mondok lagi di RSUD."

Jantung Naya hampir loncat. Astaga, sakit? Apa sakit hati seperti dulu? Apa patah hati Laksa benar membuat hatinya sakit dalam artian sebenarnya? Jangan-jangan kalau patah hati, hati Laksa juga benar patah? Jika sakit hati saja kulit Laksa menguning, bagaimana kalau patah hati? Apakah jadi merah berdarah? Naya bergidik. Kini ekspresi Naya jelas terlihat bahwa ia amat khawatir bercampur ngeri. Risma bisa menangkapnya dari keremangan lampu teras. Ia tak lagi penasaran lanjutan kisah Naya-Laksa yang rutin Kris kisahkan di grup. Perasaan Laksa bersambut. Penasaran selanjutnya adalah, akankah mereka bersatu?

"Kecapekan. Dari Ciamis kata Kris kan Tuan yang nyetir. Nggak mau digantiin. Muntah-muntah sejak sampai rumah, Nay. Makin lemas kemarin. Akhirnya diinfus di rumah sakit."

"Oh ... besok saya InsyaAllah sudah bisa masuk, Ris," ucap Naya mengalihkan perhatian. Ia tak mungkin bilang besok akan menjenguk Laksa. Siapa pula dia? Ia masih tukang masak Laksa.

Risma dan Naya sejak tadi hanya mengobrol di tengah pintu yang terbuka. Risma tak ingin duduk di teras, pun masuk untuk duduk di tikar. Terlalu lama berdiri juga nyamuk ikut-ikutan mengganggu. Masih untung menganggu. Ini Risma sudah menepuk mati dua nyamuk di lengannya.

"Alhamdulillah. Yaudah aku pulang dulu ya? Sampai ketemu besok, Nay. Assalamu'alaikum"

Risma kabur, sebelum darahnya habis dihisap nyamuk.

Pungguk Memeluk Bulan (FULL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang