Bagai tertiup angin badai Katrina di Amerika Serikat, hati Laksa porak-poranda tak karuan sejak kembali dari Ciamis. Itulah mengapa ia memilih menyetiri mobilnya sendiri, menjadi sopir dadakan bagi asisten ngelunjak-nya. Laksa ingin otaknya terfokus pada jalan dan rambu lalu lintas. Melupakan sementara Nayarra Humaira yang ia tinggalkan sepucuk surat, yang entah akan sampai ke tangannya atau tidak. Laksa hanya meminta belas kasihan Allah, untuk memastikan surat itu benar sampai di tangan Naya.
Beruntung, tidak ada reportase berita kecelakaan lalu lintas di grup WhatsApp pekerja. Hampir tiap sejam sekali, Kris meminta do'a keselamatan pada warga WhatsApp.
Efek badai belum sembuh hingga kini. Penantian Laksa akan Naya yang sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit, terasa bagai ribuan tahun lamanya. Laksa segera memberi titah Kris begitu ia tahu jika Naya telah kembali ke Gunung Jati. Ke kediaman si pungguk yang sedang merindu sangat.
Tak berbeda jauh dengan yang Laksa rasakan, Naya yang sedang duduk di bangku penumpang belakang terus meremas jemari berkali-kali. Kris melirik dari kaca spion tengah. Ia terkekeh dalam diam sejak tadi. Kebanggaan menyelimuti lubuk hati Kris. Akhirnya, hati dua insan ini akan bersatu juga.
"Kris, bisa matikan AC-nya nggak? Saya kedinginan sekali. Seperti masuk angin."
Sungguh, ini mobil terdingin yang pernah Naya naiki. Dinginnya melebihi ujung Utara negara Alaska di musim dingin. Sudah dingin, makin dingin lagi. Naya mengeratkan jaket rajut yang ia pinjam dari Risma.
"Sudah, Mbak."
--------------
Salam terucap saling bersahutan antara para penjenguk dengan sang penunggu dan si sakit. Naya berjalan menunduk mendekati ranjang pasien. Mengikuti Kris yang memimpin jalan. Naya menghampiri Bu Sukma terlebih dahulu. Andai bisa, setelah menemui Bu Sukma, ia ingin kabur pulang mengikuti Kris lagi. Ini kali pertama, Naya yang maju duluan mengejar cinta. Ya Allah, mengapa Laksa harus sakit? Jika ia tak sakit, pasti Laksa-lah yang akan menemui Naya lebih dulu. Hingga skenario ini tak terasa begitu berat untuk kesehatan jantung Naya. Debarnya kini sudah bagai tersengat listrik berkali-kali.
"Bu? Maaf, Naya baru datang."
"Nggak apa-apa, Nay. Kamu sudah datang saja, Ibu sudah senang sekali."
"Ini, Ibu. Ada dendeng sapi. Untuk Bu Sukma."
Bu Sukma mengulum senyum sarat godaan. "Untuk saya atau Laksa?" tatap Bu Sukma ke anak lelakinya yang sedang malu-malu kucing terdiam bersandar pada brankar yang dinaikkan. Pasang mata tajam sang badan besar tak lepas dari sang pujaan hati.
"Ibu saja. Anak Ibu sepertinya juga tidak akan mau," ucap Naya lembut, selembut putri keraton, yang sedang berbicara dengan sang ratu.
Tawa pecah oleh 3 manusia lainnya yang mengisi ruangan. Termasuk Laksa. Gigi putih rata milik Laksa bahkan sampai terlihat. Ia tampan sekali jika tertawa seperti ini. Andai Mak Dokter sedang melakukan visite di sana dan mendapati Laksa tertawa seperti itu lagi, pasti ia sontak akan berubah menjadi pasien. Lantaran, pingsan.
"Naya ... Naya ... ! Kamu lucu ya, Nay. Pantesan Laksa maunya sama kamu aja." geleng Bu Sukma. Ia menepuk kedua bahu Naya. Lantas bangkit, seraya memberi kode pada Kris untuk keluar. "Tapi makasih banyak ya oleh-olehnya. Ibu keluar dulu. Kamu bicara gih sama nih!! Bocah manja kelewat tua."
Lagi, Laksa senyum 3 jari. Mau dibilang apapun, ia terima. Mau dibodohi sebanyak apapun buruh meski ia tahu, ia akan pura-pura tak tahu. Naya telah ada di depan Laksa. Ia tak peduli dengan yang lain. Satu hal yang ia pedulikan sekarang. Hati Laksa harus kembali utuh setelah ini.
"Kapan pulang?"
"Baru semalam."
"Kenapa tidak langsung ke sini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pungguk Memeluk Bulan (FULL)
Spiritual[Juara Utama 1 Lomba Menulis KBM APP Ramadhan 2021] #1 generalfiction #1 baper #1 bucin #1 spiritual #1 Islam #2 chicklit #22 roman Naya, Kusuma, dan Ibrahim, adalah tiga sosok manusia yang hidup di rumah kontrakan dengan atap bocor. Di sisi lain ke...