9. Opor Ayam, Kolak Biji Salak

14.8K 2.7K 93
                                    

"Apakah sakit ini karena Wein itu?"

Laksa menoleh dengan tatapan tak percaya. Jelas, pertanyaan Naya benar, juga jawabannya iya. Namun tak bisakah Naya tak perlu menanyakan penyakit dan sebab-musababnya?

Tak ada jawaban dari Laksa. Ia memalingkan wajah. Mulutnya sibuk mengunyah apel meski terkadang masih mual. 

"Kalau iya, berarti Wein tidak baik untuk kesehatan hati Tuan."

Meski tak saling bertatap mata, Laksa tetap mengangguk dalam keheningan ruang rawat lantai 2 RSUD. Jantungnya kebat-kebit saat Naya mengucap 'hati.' Laksa tahu benar hati yang Naya maksud adalah organ tubuhnya. Namun mengapa, rasanya Naya seperti sedang menanyakan keadaan hati Laksa.

Hati? Hati? Sakit hati? Hati sapi? Hati-hati di jalan? Hati yang mana ini? Tiba-tiba semua tereja rancu di kepala Laksa.

Tak terasa waktu seakan berhenti, hanya untuk menghabiskan iris demi iris apel merah manis yang disediakan rumah sakit. Hebatnya, si badan besar berkumis tipis ini tak memuntahkan apa yang ia rasa ingin menyeruak keluar. Laksa menahan sekuat tenaga. Rasa malu terlihat lemah di depan Naya, berhasil mengalahkan gejolak apel yang ingin kabur dari dalam lambung Laksa.

"Kasihan Bu Sukma. Tuan harus sehat."

"Berhenti membicarakan kesehatan saya. Saya tahu benar apa yang saya rasakan."

Naya mengangguk. Ia kembali mengambilkan potong apel selanjutnya dari nakas dengan garpu. Naya tak ingin tangan kotornya ini justru menambah kesakitan Laksa.

Hening kembali tercipta.

Suara bip monitor bahkan terdengar bagai toa memenuhi isi ruangan.

"Kenapa kamu pendiam sekali sih? Atau lebih senang mengungkapkan apapun lewat puisi? Jika pembicaraan kita lebih nyaman dinikmati dengan kalimat tersirat, saya rasa saya bisa jadi lawan seimbang untuk kamu."

Tawa Naya lepas.

Sebentar saja.

Tak sampai 5 detik.

Ia sadar siapa pria yang terbaring di depannya ini. Naya hanya mendadak tak sanggup menahan tawa mendengar ucapan Laksa. Orang menjenguk memang obrolannya sekitar kesehatan bukan? Jika Laksa tak ingin membicarakan kondisinya, lalu untuk apa Naya ambil suara?

Lagipula, Naya bukan pujangga. Ia hanya suka saja mendengar kalimat dirangkai indah dalam acara Bukan Pujangga, radio kesayangannya.

Berbeda dengan Naya yang sedang mengalami kebimbangan antara melepas tawa atau diam dalam sungkan, Laksa justru mematung. Lima detik barusan adalah kesempatan langka yang tak pernah Laksa pun pria lain lihat dari Naya selama 8 bulan ia bekerja di rumah besar itu. Naya tertawa lepas. Jantung Laksa juga hampir lepas dibuatnya.

Naya panik. Sontak berdiri.

Tiba-tiba monitor di atas ranjang berdetak lebih cepat. Angka detak jantung naik melebihi 110 kali per menit. Naya mengamati lebih dalam. Tulisan apa ini? Ia tak paham.

Sembari menunjuk-nunjuk monitor, ia berusaha memastikan ekspresi Laksa. Tak ada yang aneh. Atau ... Laksa akan mengalami serangan jantung?

"T-tuan! T-tuan kenapa? Ini kok jadi merah kelip-kelip begini angkanya?"

Laksa hanya bengong. Menormalkan kembali debaran jantung tak semudah yang ia pikir. Tarik nafas, hembuskan. Tarik nafas, hembuskan.

Tak ada jawaban. Naya berjalan tertatih sebisanya, keluar ruangan.

"Suster! Suster! T-tuan saya serangan jantung!!!" teriaknya. Air mata Naya merebak. Sebentar lagi luruh.

Dua manusia penunggu kepastian hubungan antara Laksa dan Naya, ikut bangkit dari bangku panjang depan kamar. Kepanikan melanda semua orang. Mereka berduyun-duyun menemui Laksa. 

"Ini nggak apa-apa, Mbak. Pak Laksa hanya kaget saja," terang seorang dokter jaga yang akhirnya meredam debaran panik Naya, Bu Sukma dan Kris.

"Alhamdulillah!" syukur mereka serempak.

-------

Rutinitas kembali seperti semula. Naya mulai memasak untuk Laksa. Baiknya lagi, Bu Sukma memberi kamar istirahat untuk Naya dan kedua anaknya di mess asisten.

Ada satu rumah kecil di belakang, tempat bagi Rustini dan kawan-kawan beristirahat. Biasanya di tempat itu hanya ada kasur tunggal Rustini. Namun sekarang, ada satu ranjang untuk Naya dan satu lagi untuk berdua Aim juga Uma.

Kesehatan Naya membaik setelah mendapat fisioterapi dua kali. Masih ada tiga kali terapi lagi minggu depan, dan menjadi kewajiban Kris menjadi tukang antar jemput Naya.

"Saya nggak bisa lama-lama di sini, Tuan. Masakan untuk buka belum saya apa-apain."

Laksa tersenyum kecut.

"Ibu tidak bilang ya? Jika untuk sementara kamu hanya memasak untuk saya?"

"Bu Sukma bilang. Sayanya yang nggak enak. Mbak Rus dan Risma sudah punya pekerjaan mereka."

"Masak apa untuk buka?"

"Opor ayam, kolak biji salak, gorengan, buahnya jeruk."

"Kenapa saya hanya sayur bening terus-terusan?" protesnya.

"Karena kata Ibu, Tuan nggak boleh makan lemak dan berminyak."

"Ya ya ya ... "

Laksa mengangguk saja. Protes pun percuma. Diperhatikan Naya seperti ini saja ia sudah bersyukur. Merepotkan Naya untuk memasak juga mengantarkannya ke sini, menemani Laksa makan, itu anugrah. 

"Kulit Tuan sudah nggak kuning lagi. Apa sudah boleh pulang?"

"Kenapa? Kamu lelah memasak untuk saya?"

Naya menggeleng. Sebagai asisten rumah tangga yang Laksa gaji, juga punya harapan agar sang majikan ini sembuh. Kalau tidak, perekenomian Laksamana Properti bisa mempengaruhi tanggal kapan dompet Naya biasanya terisi.

Kris datang membawa titipan sales, usai mampir lokasi setelah menurunkan Naya di rumah sakit. Jelas saja, Laksa tak mengizinkan Kris berlama-lama di sini. Selain menjadi orang ketiga pengganggu proses penyembuhan Laksa dengan asupan nutrisi dari Naya, ia juga tak diperbolehkan makan gaji buta. 

"Ini, Tuan. Hari kemarin ada 5 rumah terjual. Di blok A dua. Lainnya di blok C, E dan K. Yang dua nama pertama mengajukan kredit syariah. Yang tiga lainnya rencana dilunaskan. Bang Pitra hari ini berangkat mengurus pajak-pajak yang Bapak Bayu dan Bapak Dani."

Laksa membuka map, menekuri lembar demi lembar laporan tersebut. Naya lebih memilih menyingkir, tak tahu-menahu apa yang mereka bahas. Kris datang artinya Naya bisa kembali pulang.  

Sedang fokus-fokusnya membaca di tengah pusing yang kadang mendera, Kris mengganggu pikiran Laksa dengan satu kabar terbaru. Kabar untuk Naya yang tak ada sangkut-pautnya dengan Laksa. 

"Mbak Naya jualan Miyone juga ya sekarang? Tadi saya liat anak-anak Mbak. Aim sama adiknya. Di lampu merah jualan Miyone."

Rantang yang telah berhasil Naya susun, jatuh menimbulkan berisik seantero ruangan. Hati Naya ikut runtuh. 

"Karena lawan arah jadi saya muter dulu. Lumayan jauh. Mau saya ajak ke sini. Udah muter, malah anak-anaknya udah pada ngilang aja," kekeh Kris.

Terpatah-patah, bibir Naya berusaha menanyakan kebenaran yang Kris ucap. Wajah Naya bukan pucat lagi. Kulit putih langsat Naya kini berubah layaknya kulit orang mati. Laksa ngeri sendiri melihat Naya. Antara cemas, bercampur tak tega. 

"L-lampu m-merah mana?"

"Perempatan Pring Sewu, Mbak."

-----------------

Hari ini satu aja yak. Sambil nunggu boleh mampir di novel ku yang lain. Udah tamat 3. Silakan.

Pungguk Memeluk Bulan (FULL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang