Laksa merogoh kocek sangat dalam, untuk mengimpor kursi roda fitur lengkap. Seharga satu petak rumah ukuran 200 meter perseginya. Kursi roda yang dirancang khusus bisa digerakkan melalui sensor mulut. Termasuk, satu buah alat pemindah memanfaatkan katrol otomatis agar Kris juga Naya yang kini tengah hamil tua, tak lagi mengangkatnya dengan tenaga manual. Meski, diri mereka tak pernah keberatan.
"Untuk apa? Apakah Mas mau tergantung dengan alat-alat itu terus-menerus?"
Naya berdiri berkacak pinggang ketika dua alat itu diturunkan dari mobil pick up. Untuk pertama kali, Naya berani mengungkapkan ketidaksukaannya pada keputusan impulsif Laksa. Bukan ingin bergantung dengan alat. Laksa hanya terlalu sayang pada istrinya dan Kris yang selalu susah payah membantunya. Jika ada yang lebih mudah, kenapa tidak?
"Aku hanya ingin memudahkan kamu, Ya. Aku sebagai suami, juga mengkhawatirkan kondisi kamu dan anak kita yang di perut," jawab Laksa yang tak lagi kesusahan mengeja. Berkat latihan keras, kini Laksa sudah lancar berbicara.
"Bapak, ini bisa ngangkat Uma sama Abang juga nggak?" tanya Uma yang sudah naik di matras penopang yang mirip seperti ayunan itu.
Laksa tertawa. Ia menjawab anaknya masih dari kursi roda lama.
"Bisa. Coba aja. Minta tolong Om Kris bacakan cara pakainya dulu."
Bibir Naya mencebik. Badannya sudah membelakangi 3 orang kampungan yang sedang terheran-heran dengan teknologi terbaru dari Kanada ini. Di titik peta sebelah mana pula, itu Kanada? Mereka tak pernah tahu. Yang pasti, di otak ketiganya sedang berputar pikiran. Jika orang-orang di luar kabupaten Gunung Jati ini, pastilah canggih-canggih. Ada-ada saja ayunan yang bisa naik turun hanya dengan kontrol remot.
Sedangkan otak si ibu hamil, sedang dibisiki kata-kata tak bagus oleh hormonnya yang kini sedang meluap-luap. Naya merasa Mas Laksa-nya tak lagi membutuhkan dia.
"Bisa tinggalkan kami, Kris?" pinta Laksa.
"Bisa, T-tuan. Ayo, bocah-bocah. Kita cobain di luar."
"Baca yang benar, Kris! Jika rusak, gajimu sampai tua akan saya gunakan untuk mencicil gantinya."
"Hahaha ... " tawa anak-anak menertawakan wajah Kris yang mendadak memucat.
Kris menyusul anak-anak, membawa segenggam kengerian. Tuannya masih semenyeramkan dulu. Disiplin waktu, tetap. Galak jika pekerja tak patuh, masih. Termasuk bertahannya rasa penasaran super tinggi, mengapa grup WhatsApp dimana Laksa menjadi admin, tak pernah ramai sejak dibuat. Laksa masih menanyakannya pada Kris, hingga kini.
Pintu tertutup.
"Aku sayang kamu, Ya. Maka dari itu, aku ingin memperingan pekerjaanmu," rayu Laksa yang tak bisa apa-apa. Ia hanya bisa bicara dari kursi roda manualnya.
Naya menoleh namun tetap bersidekap. Mau bagaimanapun juga, semarah-marahnya Naya, ia tetap memperdulikan Laksa.
"Tapi 'kan saya nggak keberatan, Mas."
"Sebentar lagi, kamu melahirkan. Aku maunya tetap menjadi suami mandiri. Agar anak-anakku kelak, tetap melihatku. Sebagai Bapak yang hebat. Bukan Bapak yang lemah."
Naya bangkit. Ia tak setuju. Tapi gelagapan, ketika manik Laksa menatap penuh harap Naya.
Dalam hati, sebenarnya Laksa juga ketar-ketir. Naya masih belum tahu jika alat terbaru berupa voice command yang kini masih proses pengiriman dari Jepang, akan segera tiba dan dipasangkan juga di kamarnya ini. Jadi, untuk mematikan lampu, menelepon seseorang, menyalakan laptop dan semua alat elektroniknya, Laksa hanya tinggal memerintah si robot, dengan memanggil, 'hai Monica, nyalakan lampu.'
KAMU SEDANG MEMBACA
Pungguk Memeluk Bulan (FULL)
Spiritual[Juara Utama 1 Lomba Menulis KBM APP Ramadhan 2021] #1 generalfiction #1 baper #1 bucin #1 spiritual #1 Islam #2 chicklit #22 roman Naya, Kusuma, dan Ibrahim, adalah tiga sosok manusia yang hidup di rumah kontrakan dengan atap bocor. Di sisi lain ke...