"Ayo, ikut!" ajak Laksa yang sudah melenggang ke garasi depan.
"Ayo, Buk!"
"Ibu belum selesai giling kacang, Uma."
Dua manusia kecil yang selalu bergantung pada kehadiran Naya, menyeret paksa Naya keluar dari dapur di tengah siang bolong. Meninggalkan gilingan kacang yang akan ia pakai sebagai sambal pecel hari ini.
Anak-anak bahkan masih memakai seragam sekolah mereka.
Ini hari terakhir Naya mempersiapkan segalanya. Memastikan semua menu makanan, sudah tersedia bumbu lengkap siap proses. Resep juga telah tertulis rapi. Termasuk jenis pilihan menu yang bisa Rustini dan Risma masak untuk berbuka puasa. Nanti malam, giliran ia memastikan semua pakaian mudik masuk ke dalam koper. Kalau orang berbondong-bondong mudik dari barat ke timur—Jawa Barat ke Jawa Tengah atau Jawa Timur— terbalik yang terjadi pada Naya. Ia justru mudik dari timur ke barat. Dari Gunung Jati di Jawa Tengah, ke Ciamis di Jawa Barat.
"Ganti baju dulu, Im."
"Nggak bisa, Buk. Om Kris udah nungguin di depan. Aim mau kasih kejutan ke Ibuk. Ibuk pasti senang!" paksa Aim.
Jantung Naya berlompatan. Jika Aim dan Uma yang memberi kejutan berdua saja, ia masih bisa tenang. Sedangkan ini, ternyata ada satu lagi manusia besar yang akhir-akhir ini ikut bergantung pada kehadiran Naya, telah siap duduk di bangku depan bersama Kris. Uma yang sudah stand by di depan pintu mobil, membukakan pintu penumpang baris tengah, layaknya seorang valet.
"Maaf, Tuan. Ini Aim dan Uma merepotkan ya?"
Satu permintaan maaf harus segera Naya layangkan pada sang majikan, lantaran makin hari anak-anaknya makin tak tahu sopan-santun. Apakah Naya terlalu sibuk belakangan hingga lupa mendidik mereka? Rasanya, tidak.
Laksa menengok ke belakang. Tak berkata apapun. Hanya tersenyum teduh lantas kembali menatap depan, setelah menepuk Kris, memerintahkan untuk jalan.
Kris mengaktifkan tombol sunroof. Uma berdiri. Melompat gembira sembari pamer pada sang ibu.
"Ibuk, lihat! Atap mobilnya bisa dibuka!"
Bukannya terpana melihat mobil dengan atap terbuka, Naya justru tak enak hati pada Laksa. Demi pelajaran moral yang pernah Naya ajarkan selama ini, seumur-umur ia tak pernah melihat anak bungsunya seenaknya berdiri di mobil orang seperti ini. Kepala Naya langsung pening.
"Uma, duduk! Maaf, Tuan ... Uma jadi nggak so—"
"Tidak masalah," jawab Laksa enteng.
"Buk, lihat langit! Dari mobil kita bisa lihat langit, Buk!!"
Tarikan Naya agar Uma duduk tak membuahkan hasil. Lagian, Naya biasa kok selama bertahun-tahun melihat atap terbuka. Melalui genteng bocor di kamarnya.
"Astagfirullah, Uma! Turun, ayo! Duduk!"
Kemarahan Naya pada sang bungsu terasa bagai lantunan lagu romantis, terdengar di rungu Laksa. Ia akan menikmati hari ini mendengar dan memandang Naya sepuasnya. Hari terakhir Naya sebelum pulang kampung. Laksa mau ditinggal pergi, sepertinya jadi makin gila saja, pemirsa!
Uma cemberut. Kejutan Uma menunjukkan kehebatan mobil Laksa, gagal. Dalam batin, Uma tak percaya jika Ibuk tak keheranan. Bahkan di angkot pun, mereka tak pernah menemukan sunroof, lho! Memang dasar si bocah gadis.
Melihat gembungan di pipi Uma, Naya tertawa. Ia mengambil Uma dan memeluk anak itu. Mencium sayang kening Uma.
"Maaf ya, Uma. Makasih sudah tunjukkan ke Ibuk. Mobil Tuan bagus ya?" rayu Naya pada Uma. Begitu saja Uma langsung luluh. Ia mengangguk dan membalas pelukan Naya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pungguk Memeluk Bulan (FULL)
Spiritual[Juara Utama 1 Lomba Menulis KBM APP Ramadhan 2021] #1 generalfiction #1 baper #1 bucin #1 spiritual #1 Islam #2 chicklit #22 roman Naya, Kusuma, dan Ibrahim, adalah tiga sosok manusia yang hidup di rumah kontrakan dengan atap bocor. Di sisi lain ke...