38. Dua Cangkir Teh Hijau

12K 2K 71
                                    

"Mas dengar? Ada suara si pungguk."

Naya bersandar di dada Laksa. Mereka duduk di beranda depan kamar utama, yang disediakan villa. Beranda dengan sofa merah lembut yang muat untuk dua orang. Beberapa tanaman hias terpajang di sudut. Di meja juga telah ada 2 cangkir teh hijau hangat, menambah kesyahduan malam ini. Tepat di depan kamar, ada kolam renang mini yang menampilkan pendar bayangan rembulan dengan begitu cantiknya.

Villa yang Laksa pesan untuk kurun 1 minggu ini, terletak di area perkebunan. Jauh dari hingar-bingar kota Malang. Jika malam tiba, suara jangkrik, katak, serangga malam, pun burung hantu barusan meriuhkan suasana. 

"Dengar." Laksa membenarkan selimut tebal yang menutup keduanya. "Terkadang aku berpikir lagi. Lebih baik aku menjadi pungguk daripada matahari."

Naya mendongak. Ingin menyampaikan rasa penasarannya pada pria di belakang yang sedang menopangnya.

"Karena pungguk dan bulan sama-sama muncul di malam hari. Mereka tak terpisahkan. Matahari dan bulan tidak pernah bertemu, Ya. Kamu salah mengambil perumpamaan."

Naya terkekeh. Naya juga tak pernah memikirkan lagi entah pria ini si pungguk atau matahari. Asalkan dia Laksamana Latif, itu sudah cukup.

"Jadi, bolehkan aku tetap menjadi si pungguk saja?" lanjut Laksa.

Naya mengangguk mantap. Mata indah Naya terpejam. Menghela nafas lega. Menikmati malam yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Duduk berdua bersama Laksa, memandang langit yang sama. Langit yang selama ini menemani Naya yang sendirian.

"Boleh. Pungguk yang tak lagi merindu. Tapi telah berhasil memeluk bulan?" balas Naya. Laksa mengeratkan pelukan.

"Benar."

Semakin malam, keriuhan alam makin terdengar. Ada dua bunyi pungguk bersahutan. Jika orang-orang mengenal pungguk sebagai hewan yang membawa firasat buruk, berbeda dengan kedua insan ini. Bagi mereka, nama pungguk telah tertoreh dalam kisah cinta yang mereka pahami berdua. Tak ada yang buruk. Semua terasa manis. Berjuta benih cinta bahkan tumbuh dari hati keduanya.

"Ada dua pungguk sepertinya?" tanya Naya.

"Mungkin karena rembulan sedang bulat-bulatnya. Atau ... karena bulannya Laksa sedang di sini juga?" goda pria itu. Naya hanya bisa tersipu bersembunyi di balik selimut.

"Kamu suka bulan? Kata Aim, kamu mengganti lagi genteng kamar dengan genteng transparan. Agar bisa melihat bulan?"

Laksa menatap Naya penuh peringatan. Jangan sampai perempuan ini naik atap lagi hanya untuk mengganti-ganti genteng atau apapun itu di masa depan.

Ternyata, Aim yang pendiam itu, juga diam-diam memberi banyak informasi tentang ibunya pada Laksa. Naya tak menyalahkan anak sulungnya. Pun dengan pria yang sekarang menjadi suami Naya. Naya maklum pada usaha pria ini dalam merebut hatinya kala itu.

"Bukan saya yang naik. Saya minta tolong Kus yang bawa pulang genteng transparan sisa waktu itu."

Manik Naya memandang bentangan langit hitam bertabur kelip putih bintang dan satu bulan.

"Saya suka melihat langit. Sekalipun sedang tidak ada bulan atau bintang. Saya merasa nggak sendirian jika memandang langit," lanjut Naya.

"Aku juga suka."

Laksa mengeratkan kaitan tangan di pinggang Naya. Malam dengan hembusan angin perkebunan menambah dingin udara di sekitar. 

"Rumah yang baru aku bangun untuk kalian, di kamar utama lantai 2, akan kubuat atap yang bisa terbuka. Kalau-kalau kamu ingin melihat langit nanti."

Pungguk Memeluk Bulan (FULL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang