"Saya selaku perwakilan orang tua para santri ... " Naya tersenyum, melirik sang suami di bangku penonton sebentar, lalu menunduk lagi. Membaca contekan yang ia letakkan di meja podium. " ... sekaligus istri salah seorang santri, berbangga hati. Tak bisa kami ungkapkan dengan apapun."
"Tapi jika boleh kami ibaratkan, kalian adalah hujan deras yang turun di pagi mendung.
Mungkin, bertitik-titik embun segar, bagi kami para ibu ... dan istri, ketika mengiringi kalian mengejar apa yang kalian cita-citakan.""Tapi rasa ini, lebih dari itu.
Cita-cita kalian tak hanya dunia.
Tapi ... juga surga.
Dan rasanya, tak cukup jika kami mengibaratkan kalian hanya sebagai setitik embun pagi.""Kalian hujan deras yang membasahi iman kami yang tandus.
Kalian hujan deras yang mengaliri sungai dakwah yang mulai kering.
Kalian hujan deras, yang setelahnya akan mencipta pelangi, meski gerimis telah berhenti.
Lantas, pagi menjadi cerah kembali.""Semoga amalan Ananda semua ... juga Kakanda," senyum Naya malu-malu haru. " ... bermanfaat, kekal, dan menerangi jalan kalian ke surga.
Menuntun kami, yang masih tertatih belajar jua.
Semoga Allah memperlancar hafalan selanjutnya. Barakallahu fiikum."Naya menutup pidato perwakilan keluarga santri, diiringi air mata sendu mengalir tanpa isyarat.
Seharusnya, pidato ini diwakili oleh bapak salah seorang santri. Hanya saja, karena ada Laksa sebagai salah satu santri, Ustadz memilih Naya yang merupakan ibu dan istri santrinya sekaligus. Agar terasa adil juga bagi Laksa. Laksa saja tak menyangka kejutan ini. Ia kira, bukan Naya yang memberi sepatah sambutan di depan. Perempuan itu 'kan kawannya si malu.
Aim ikut meneteskan air mata. Bu Sukma yang duduk di samping Laksa, tak lupa menyeka aliran deras di pipi anaknya yang lumpuh. Bu Sukma tahu betul perjuangan sang anak. Pahit getir cobaan mengiringi hijrahnya menjadi pria berbudi baik. Tangan keriput itu meremas kuat, penuh bangga jemari Laksa yang terkulai di atas pangkuan.
Mereka saling berpelukan, usai Naya berpidato. Haru menyeruak setiap insan yang menghadiri acara tersebut. Termasuk, buruh Laksa yang tak mendapat tempat duduk. Mereka rela berdiri, mendukung sang Tuan baik hati dari barisan paling belakang. Kecuali, tanjidor dan rebana. Laksa melarang mereka menimbulkan kebisingan. Apapun, alasannya.
Laksa dan Aim naik ke panggung bersama yang lain. Naya pertama kali mewakili pengalungan medali di leher Laksa dan Aim. Ia mencium dalam-dalam kening kedua lelakinya.
Tepuk tangan menggema ke seisi aula masjid.
Sungguh, hari ini adalah satu hari terbaik yang pernah Naya lalui selama hidupnya. Juga ... bagi Laksa.
Selamat untukmu, Laksa! Kau hebat! Kami bangga!
---------------
"Tanjidor sama rebanaan kalo di restoran bagus, opo nggak boleh juga, Kus? Kan udah nggak di masjid," tanya Gus sedang mengobrol bersama teman-teman yang duduk rapi di bagian pick up mobil.
Usai sholat Jum'at berjamaah di masjid pesantren, mereka kini sedang dalam perjalanan menuju restoran ayam goreng yang terdapat menu spaghetti. Laksa akan mentraktir mereka, makanan kesukaannya.
"Harusnya boleh. Sayang 'kan kita udah sewa 300 ribu."
Darno menyahut. Sepoi-sepoi angin sawah pinggir jalan mengiringi obrolan mereka. Mencipta kantuk. Mengantuk ... tapi lapar. Juga panas. Terik siang menyengat di atas kepala. Belum masing-masing penumpang harus memangku rebana yang dibawa. Paling menderita adalah Lik. Ia kebagian alat musik tanjidor paling besar. Tahu seperti ini, tadi pagi mereka memasang terpal dulu, sebagai atap pick up. 'Kan tampilan mereka jadi acak-acakan. Gel rambut abal-abal tak mampu menghalau angin perjalanan merusak rambut yang tertata rapi tadi pagi. Padahal, sebentar lagi mereka masuk warung bagus. Warung ... yang ada AC-nya. Kan, jadi tidak ganteng lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pungguk Memeluk Bulan (FULL)
Espiritual[Juara Utama 1 Lomba Menulis KBM APP Ramadhan 2021] #1 generalfiction #1 baper #1 bucin #1 spiritual #1 Islam #2 chicklit #22 roman Naya, Kusuma, dan Ibrahim, adalah tiga sosok manusia yang hidup di rumah kontrakan dengan atap bocor. Di sisi lain ke...